TEKS : Matius 23 ;1-12.
Syaloom !!!
Seminggu terakhir ini
masyarakat Indonesia dikejutkan dengan peristiwa penangkapan Ketua Mahkamah
Konstitusi Aqib Moktar, berkenaan dengan dugaan kasus suap uang miliaran rupiah
dalam sengketa pemilihan kepala daerah Lebak Banten. Terlepas dari apakah dia
bersalah atau tidak, tetapi masyarakat Indonesia terlanjur dikecewakan melalui
peristiwa ini.
Oleh karena MK Sebagai
Lembaga Negara yang diharapkan dapat menghadirkan keadilan dan kepastian
hukum justru pemimpinnya melakukan
tindakan ketidakadilan. Ini salah satu dari perlakukan para pemimpin bangsa
yang korup.
Dan tentunya ada begitu
banyak lagi para pemimpin bangsa yang terlibat dalam perlakukan-perlakukan yang
tidak adil. Mulai dari Mentri, Bupati, Wakil Bupati, Gubernur, Wakil Gubernur,
Pejabat Pemerintah lainnya dipusat
sampai di desa-desa terlibat dalam perlakukan yang tidak adil.
Tentunya didalam kebaktian ini, saya tidak bermaksud menghadapkan
tentang perilaku ketidakadilan, perilaku korupsi, perilaku manipulasi, perilaku nepotisme yang dipertontonkan para pemimpin bangsa dan
masyarakat sampai saat ini.
Tetapi yang saya ingin
hadapkan adalah bagaimana profil seorang pemimpin sebagai
teladan. Bagaimana seorang Kristen mampu
menghadirkan dirinya sebagai teladan kebaikan bagi masyarakat yang dipimpinnnya.
Hal
ini penting dihadapkan, oleh karena akhir-akhir ini terjadi krisis keteladan
dikalangan para pemimpin, dimana sulit sekali
kita menemukan seorang pemimpin yang dapat dijadikan teladan atau
panutan. (Teladan artinya sesuatu
yang patut ditiru atau dicontohi apakah perbuatannya, kelakukannya, sifatnya
dll ).
Nah,…..
di tengah krisis keteladanan para pemimpin mari kita belajar bagaimana menjadi
pemimpin yang menghadirkan nilai-nilai keteladanan, melalui teks bacaan kita tadi ; Matius 23 ; 1-12 dalam
sorotan Tema Mingguan yang ditetapkan Lembaga Pembinaan Jemaat GPM yakni “KETELADANAN”.
Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus !!!
Kalau kita membaca teks Matius 23 ; 1-12 dengan
baik, maka paling kurang ada 3 Nilai yang terkait dengan keteladanan yang patut
kita renungkan sebagai para pemimpin (masyarakat, gereja, dan keluarga).
Pertama ;
Pemimpin
yang diteladani adalah pemimpin yang mampu menyelaraskan tentang apa yang
dibicarakan dengan apa yang dilakukannya.
Dengan kata lain, apa yang dibicarakan
mesti sama dengan apa yang dilakukannya.
Dalam
teks kita, Yesus mengecam orang-orang Farisi dan Ahli-Ahli Taurat, yang pada
masa itu dianggap sebagai pemimpin agama dan masyarakat Yahudi.
Orang-orang
Farisi dan Ahli-ahli Taurat ini adalah orang-orang yang mendapat legitimasi atau diberi kuasa untuk menafsirkan dan
mengajarkan hukum-hukum Musa. Ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan bahwa
mereka mendapat legitimasi menafsirkan dan mengajarkan Hukum-hukum Musa dalam
teks kita adalah ; “menduduki kursi Musa”
(bd.ayat 2).
Tentunya apa yang diajarkan mereka
adalah sesuatu yang benar dan patut didengarkan dan dilaksanakan. Karena itu dengan tegas Yesus katakan; “lakukan segala sesuatu yang mereka
ajarkan kepadamu” ( bd.ayat 3a).
Pada
sisi yang lain, Yesus menyebutkan tentang “orang banyak”,…. dalam hal ini menunjuk
kepada masyarakat biasa, rakyat jelata, orang-orang yang hina dan miskin
yang ada disekitar mereka (Ahli Taurat dan orang Farisi)
yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang minim tentang ajaran-ajaran atau hukum Musa. (bd.
Ayat 1).
Jadi
disatu pihak ada para pemimpin agama yang memiliki legitimasi mengajarkan
Hukum-Hukum Musa dan karena itu patut diteladani, dan pada pihak lain, ada orang-orang sederhana dan miskin
yang harus meneladani apa yang diajarkan dan dilakonkan oleh para
pemimpin mereka.
Yang menarik adalah dalam posisi atau
kedudukan mereka sebagai orang yang mengajarkan ajaran Musa, dan yang harus
diteladani oleh orang banyak itu, justru dikecam oleh Yesus.
Yesus
tidak mengecam orang banyak yang tidak memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum
Musa, malah Yesus mengajak dan mendorong mereka untuk melakukan apa yang
diajarkan oleh pemimpin-pemimpin agama itu.
Mengapa ???
Karena bagi Yesus yang penting bukan soal memahami
hukum-hukum Musa, tetapi bagaimana melakukan hukum-hukum Musa dengan konsisten
dalam hidup mereka, itu jauh lebih
penting.
Ini yang tidak dipertontonkan oleh Ahli Taurat dan Orang Farisi.
Mereka mengajarkan tetapi tidak
melakukannya. Hal itu dipertegas oleh
Yesus dalam ayat 3b ; “karena mereka
mengajarkan tetapi tidak melakukan”.
Jadi……., Kecaman Yesus itu, bukan
karena ajaran yang disampaikan orang-orang Farisi dan Ahli-Ahli Taurat itu
salah.
Kecaman Yesus itu bukan karena
Ahli-Ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu malas-malas dalam menyampaikan
ajaran atau Hukum Musa.
Kecaman Yesus itu bukan karena
orang-orang Farisi dan Ahli Taurat itu takut menyampaikan kebenaran Ajaran dan
Hukum Musa. Tidak !!!!
Tetapi kecaman Yesus itu justru
karena orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu tidak konsisten melakukan
apa yang diajarkan.
Mereka
dengan keras memaksa orang melakukan hukum-hukum Musa, sementara mereka sendiri
tidak melakukannya, bahkan terkesan menghindar. Lucu,….!!! Disini mereka
menampilkan diri sebagai para pemimpin yang munafik. Disini mereka menampilkan
diri sebagai orang-orang yang munafik (Hipokrits). Menyedihkan…………….!!!!
Saudara-saudari,…apa yang kita pelajari
dari bagian ini.
Pertama
; Bahwa sama seperti Ahli-Ahli Taurat dan Orang-Orang Farisi yang mendapat
Legitimasi untuk mengajarkan hukum Musa, maka setiap orang Kristen yang sudah diselamatkan oleh Allah
juga mendapat Legitimasi untuk menyampaikan ajaran Yesus (Injil) bagi orang
banyak. Tugas memberitakan Injil itu, terutama diberikan kepada para Pelayan
Khusus, (Pendeta, Penginjil, Penatua, Diaken). Kemudian Pengurus Sektor,
Koordinator Unit, Pengurus wadah-wadah Organisasi Gerejawi. Semuanya
bertanggung jawab untuk secara konsisten dan konsekwen melakukan tugas
Pemberitaan Injil dengan baik.
Disini,… setiap orang dituntut untuk Tidak
malas. (karena ada banyak perangkat pelayan yang
malas). Setiap orang dituntut untuk tidak takut dalam mengajarkan
ajaran Yesus. (Para pelayan juga penakut bila
diperhadapkan dengan banyak persoalan yang mengancam eksitensi dirinya).
Disamping
itu, mereka dituntut untuk mengajarkan ajaran yang benar. (Banyak pelayan juga yang terkontaminasi dengan ajaran-ajaran yang
tidak sehat, baptis ulang misalnya dll).
Kedua
; Bahwa orang tidak berhenti pada fase/tahap mengajarkan atau memberitakan
Injil saja,…. Selesai !!!!.
Tetapi setiap orang dituntut untuk
melakukan atau melaksanakan ajaran Yesus yang diajarkan kepada orang banyak
dalam kehidupanya secara konsisten.
Jadi,
ketika seorang pemimpin Kristen berbicara tentang cinta kasih, maka ia harus
mewujudnyatakan cinta kasih itu dalam hidupnya setiap hari kepada orang lain.
Kalau tidak maka ia tak bisa menjadi teladan.
Bagaimana
seorang pelayan yang berbicara tentang perdamaian mempertontonkan hidup yang
berdamai dengan orang lain. Kalau tidak ia tidak bisa disebut sebagai pelayan
yang patut diteladani.
Bagaimana
seorang pemimpin keluarga berbicara tentang
keadilan, dan itu diwujudkan dengan memberi perhatian yang adil kepada
anak-anak. Kalau tidak dia tidak bisa disebut sebagai pemimpin keluarga yang
bisa diteladani. Dan seterusnya.
Jadi
kualitas keteladan dari seorang pemimpin justru diukur dari konsistensinya
dalam melakukan apa yang diajarkannya atau diberitakannya.
Ini
tentu menjadi tantangan yang tidak mudah bagi setiap orang yang dipanggil Tuhan
untuk menyaksikan tentang kebenaran InjilNya.
Pertanyaannya
adalah bagaimana dengan kita, apakah
kita juga kedapatan sebagai orang-orang yang taat melakukan apa yang diajarkan
Yesus, sebagaimana yang kita ajarkan ???
Jawab sendiri !!
Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus !!!
Hal Kedua ; Pemimpin yang diteladani adalah pemimpin yang tidak mencari
kehormatan diri, tetapi yang membangun persaudaraan setara.
Dalam teks kita (ayat 5 – 10), kita
menemukan gambaran bahwa Ahli-Ahli
Taurat dan Orang-Orang Farisi itu suka sekali mencari kehormatan diri,
Mencari pujian bagi diri, melalui
berbagai simbol-simbol keagamaan yang menunjuk pada kesalehan hidup mereka.
Jadi
simbol-simbol keagamaan yang
mereka pertontonkan tidak dengan motivasi
supaya orang-orang yang
diajarkan, terdorong menjadi
percaya kepada Allah dan menampilkan
sikap hidup yang saleh serta memuliakan Allah.
Tetapi
motivasi perbuatan keagamaan atau kesalehan mereka adalah supaya mereka dihormati, dan dipuji orang
banyak. Karena itu dengan tegasnya Yesus
katakan ; “semua
pekerjaan yang mereka lakukan supaya dilihat orang”
( bd. ayat 5).
Hal itu dapat kita lihat dari beberapa
pernyataan Yesus berikut ;
-
Mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan
jumbai yang panjang.
- Mereka
suka duduk di tempat terhormat dalam Ibadah Perjamuan. (Tempat
terhormat pada perjamuan adalah tempat duduk sebelah kanan tuan rumah. Tempat
ini tidak saja menunjukan pada keistimewaan mereka, tetapi juga agar mereka
mendapat pelayanan istimewa. Kalau di rumah Ibadah, tempat terhormat itu berada disekitar
mimbar,…sementara jemaat biasa duduk dilantai).
-
Mereka suka menerima penghormatan di pasar-pasar atau
tempat keramaian.
-
Mereka suka dipanggil Rabi, guru atau pemimpin.
Dari gambaran ini, maka sebetulnya yang
dikejar oleh Alih Taurat dan Orang
Farisi dari perilaku kesalehan mereka adalah agar eksistensi atau keberadaan
mereka sebagai pemimpin-pemimpin agama perlu dihormati dan dihargai.
Mereka
tidak mempersoalkan apakah kehadiran mereka dapat menolong orang lain supaya
dapat membangun kehidupan imannya dengan baik atau tidak,…itu tidak penting.
Jadi
yang penting adalah hidup mereka dan
bukan orang banyak. Yang penting eksistensi sebagai Rabi tetap terjaga.
Yang penting eksistensi sebagai
pemimpin tetap terjaga. Mereka mengabaikan tanggung jawab untuk menyelamatkan
orang lain.
Saudara-saudara !!!
Terhadap situasi ini, maka Yesus
mengecam mereka dengan menegaskan bahwa yang
patut dihormati dan layak disembah adalah Allah, bukan manusia. Bahkan
Yesus menambahkan bahwa kamu semua adalah saudara, tidak pantas untuk
mencari kehormatan diantara sesama saudara. (bd. ayat 8)
Karena
itu, kalau ada yang patut dihormati dan disembah, itu adalah Mesias bukan mereka yang menyebut dirinya guru dan pemimpin.
Perhatikan pernyataan-pernyataan
berikut ;
-
Jangan kamu disebut
Rabi, karena hanya satu Rabimu.
-
Jangan kamu menyebut
siapapun bapa di bumi, karena hanya satu Bapamu yang disorga.
-
Janganlah kamu disebut
pemimpin, karena hanya satu pemimpinmu yaitu Mesias.
Jadi sekali lagi Yesus menegaskan
tentang perubahan orientasi
dari hormat kepada manusia diganti dengan hormat kepada Allah.
Pertanyaan
kita adalah,..apakah Yesus mengabaikan fungsi-fungsi structural dalam
kehidupan sosial ??? Apakah Yesus mengabaikan jabatan-jabatan dan
kedudukan dalam kehidupan sosial ??? Saya kira tidak. Yesus tetap
menghargai jabatan-jabatan dan kedudukan dalam kehidupan sosial maupun gereja.
Persoalannya
adalah bagaimana orang menempatkan jabatan dan kedudukan dalam persfektif Persaudaraan setara, bukan
untuk cari hormat dan pujian, serta untuk memuliakan Allah.
Apa
maksudnya ?? Maksudnya adalah bahwa baik orang Farisi, Ahli Taurat dan Orang
kebanyakan itu adalah saudara.
Saudara yang setara – egaliter. Dalam
kesetaraan itu, Tidak ada yang di atas
dan tidak ada yang di bawah. Tidak ada yang jago dan tidak ada yang pecundang. Tidak ada yang kuat dan tidak ada yang
lemah. Disini orang akan saling
menghargai dan saling menghormati dalam tatanan persaudaraan.
Demikian pula,….. dalam perspektif
persaudaraan setara itu, maka orang tidak akan berebutan untuk mendapatkan
jabatan dan kedudukan dari saudaranya sendiri. Orang tidak main sogok sana
sogok sini, untuk merebut jabatan dan
kedudukan bagi dirinya dari saudaranya sendiri. Orang tidak saling bakuhantam
untuk dapatkan jabatan dan kedudukan bagi dirinya. Karena katong sama-sama
saudara, bila anda punya kapasitas untuk jadi itu dan ini silahkan, tidak perlu
dicegah atau dihancurkan.
Demikian pula kalau seseorang
mendapatkan jabatan atau kedudukan penting, maka ia tidak akan menganggap diri hebat dan jago dan
menganggap orang lain rendah. Karena jabatan dan kedudukan itu akan digunakan
untuk memuliakan Allah, dan menguntungkan persaudaraan setara itu.
Saudara-saudaraku,…!!!
Perlu diingatkan pula bahwa dalam
persaudaraan setara, kita harus mengakui dan memberi ruang kepada hadirnya
kepelbagaian. Bahwa ada orang yang memiliki kapasitas A dan Kapasitas B. Ada
orang yang punya kemampuan ini dan kemampuan itu.
Ada orang yang memiliki jabatan dan
kedudukan yang berbeda. Tetapi semuanya itu, entah kapasitas, kemampuan,
jabatan dan kedudukan mesti menjadi kekuatan
untuk membangun persaudaraan setara dengan baik, agar persekutuan itu merasakan
manfaatnya dan Tuhan dimuliakan. Itulah nilai keteladanan seorang pemimpin yang
harus dihadapkan.
Apa yang bisa kita pelajari disini ;
1.
Bahwa setiap orang Kristen, termasuk para
pelayan dan pemimpin Kristen dalam
melakukan tanggung jawab pelayanan dan kepemimpinannya baik dalam jemaat, di tengah masyarakat
maupun keluarga, tidak dengan motivasi untuk mendapat pujian dan penghormatan
diri. Tetapi hendaknya dilakukan dalam
persfektif Tuhan Allah dalam Kristus Yesus dimuliakan.
Tapi dalam realitas kehidupan bergereja dan berjemaat dan
bermasyarakat kita, ada begitu banyak orang yang melakukan tanggung jawab
pelayanan dan kepemimpinannya dengan motivasi puji diri dan cari hormat for
diri.
Karena itu bila tugas yang dilakukan atau tanggung
jawab yang dilakukan tidak dihargai, maka mereka akan marah-marah bahkan
mengundurkan diri dari tanggung jawab pelayanan yang diberikan kepadanya.
Tetapi kalau ia melakukan tanggung jawabnya dalam
perspektif Tuhan dimuliakan, maka kendati pekerjaannya, tidak dihargai orang ia
akan tetap melayani saja. Demikian juga
kalau ia dapat tantangan, ia tidak akan lari meninggalkan tugasnya, karena ia
ingin memuliakan Tuhan melalui tugas dan kerjanya.
2.
Sebagaimana Yesus menekankannya tentang
pentingnya persaudaraan setara, maka sebagai orang-orang Kristen, kita dituntut
untuk memperteguh komitmen kita untuk membangun kehidupan orang basudara.
Kehidupan orang basudara akan menolong kita untuk tidak saling menciderai satu
dengan yang lain, hanya karena kepentingan jabatan, kedudukan dan politik,
tetapi sebaliknya akan saling menopang satu dengan yang lain, topangan yang
saling menghidupkan.
Hal ketiga ; Pemimpin
yang diteladani adalah Pemimpin yang menampilkan
sikap kerendahan hati.
Dalam teks kita, khususnya ayat 11 -
12, kita mendapatkan gambaran tentang perspektif baru yang Yesus sodorkan
kepada orang-orang Farisi dan Ahli-Ahli Taurat serta pendengarNya. Bagi Yesus bila mereka ingin menjadi pemimpin
yang besar, tersohor, ternama…..maka kebesaran
itu terletak pada sikap sebagai hamba atau pelayan yang melayani.
Tegasnya dikatakan ; “Barangsiapa terbesar diantara kamu, hendaklah ia menjadi
pelayanmu”. (ayat 11).
Menarik,….Yesus mengakhiri kecamanNya
itu dengan menyodorkan sebuah sikap keteladan yang patut dicontohi kalau ingin
jadi pemimpin besar yaitulah sikap sebagai pelayan
atau hamba.
Kata
Pelayan, dalam kamus bahasa Indonesia artinya orang yang melayani, pembantu
atau pesuruh. Nilai yang muncul dari pengertian
pelayan ini adalah kerendahan hati, sabar, tekun dan tidak sombong.
Itu berarti bagi Yesus setiap orang
yang ingin menjadi besar, maka ia mau tidak mau suka tidak suka harus
menampilkan sikap kerendahan hati,
kesabaran, ketekunan dan tidak sombong atau tinggi hati.
Dengan
kata lain, Yesus mau bilang bahwa kualitas kebesaran seseorang bukan terletak
pada penghormatan yang diterima, bukan terletak pada tingginya jabatan dan
kedudukan yang disandang, bukan terletak pada status sosial yang dimiliki,
tetapi terletak pada sikap kerendahan
hati, kesabaran, dan
ketekunan yang ditampilkan dalam keseharian hidupnya.
Karena itu marilah kita menjadi orang
Kristen, pemimpin Kristen, pemimpin keluarga yang menampilkan sikap sebagai
pelayan. Apakah kita sudah menghadirkan diri sebagai pelayan ????
Semoga…..Amin.
Oleh
Pdt. Jan. Z. Matatula, S.Th
Ketua Klasis GPM Kairatu
(Disampaikan dalam Ibadah Minggu, tanggal
13 Oktober 2013 di Jemaat GPM Rumahkay)