TEKS : Kejadian 50 : 15 -21.
Syaloom !!!
Saya melihat dan merasakan betapa kita semua bersukacita di
pagi ini. Tentunya kita bersukacita karena Tuhan masih memberikan kita nafas
hidup yang memungkinkan kita berada disaat ini dalam suatu persekutuan umat
yang beribadah.
Kita juga bersukacita oleh karena beberapa hari yang lalu sebagai
bangsa, kita dianugerahkan Tuhan kesempatan untuk merayakan bertambahnya
setahun usia bagi bangsa kita, hingga mencapai usia ke 65 tahun. Tetapi serentak dengan semakin tuanya usia bangsa ini,
kita selalu diperhadapkan dengan pertanyaan ; apakah bangsa ini sudah
sungguh-sungguh merdeka ???? Kalau bangsa ini sungguh-sungguh merdeka, kenapa
mesti ada berbagai tindakan ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi
dimana-mana ???. Mengapa ada begitu banyak tindakan-tindakan kekerasan,
diskriminasi ras dan agama dll. Itu patut direnungkan.
Kita juga bersukacita, oleh karena sebagai orang yang
percaya pada Kristus, kita juga adalah
orang-orang yang sudah merdeka, karena dimerdekakan oleh Kristus, dari segala
dosa dan kecemaran kita. Pertanyaan
kita adalah apakah selama ini kita juga telah merefleksikan kemerdekaan
kekristenan itu dalam kehidupan sesehari kita ???. sementara yang terjadi dalam
konteks hidup kita sesehari adalah; Penipuan, fitnah, iri hati, dendam,
kebencian selalu mewarnai sikap dan perilaku kekristenan kita, yang pada
gilirannya akan akan menghancurkan kehidupan pribadi, keluarga bahkan masa
depan kita.
Nah, karena itu yang patut kita renungkan sekarang adalah bagaimana
kita memaknai kemerdekaan kita baik sebagai bangsa maupun sebagai orang-orang
Kristen dalam mengisi kemerdekaan itu. Mari kita merenungkan teks
bacaan kita tadi Kejadian 50 : 15-21, dalam sorotan tema mingguan ; Mewujudkan
cinta kasih Tuhan dengan memperjuangkan kemerdekaan yang sejati.
Kalau kita membaca teks ini dengan baik, maka paling tidak
ada 4 Perkara yang mau dihadapkan kepada
kita :
Perkara Pertama : Orang
yang merdeka adalah orang yang tidak merampas hak hidup orang lain.
Dalam teks kita disebutkan bahwa ada kekuatiran dan ketakutan yang luar biasa,
yang dialami saudara-saudara Yusuf, ketika ayahnya meninggal dunia. Jelasnya
dikatakan : “
boleh jadi Yusuf akan mendendam kita dan membalaskan sepenuhnya kepada kita
segala kejahatan yang telah kita lakukan kepadanya”. (ayat 15b).
Kekuatiran dan ketakutan saudara-saudara Yusuf adalah sangat beralasan. Kenapa ??? Oleh karena mereka merasa bersalah.
-
Mereka merasa bersalah karena telah melakukan suatu
perbuatan yang keji bagi adik mereka sendiri. Sikap iri hati,
dengki, benci kemudian berujung pada
upaya menghancurkan hidup adiknya, adalah suatu perbuatan bengis yang telah
mereka lakukan bukan untuk orang lain, tapi adik mereka sendiri.
-
Mereka merasa bersalah
oleh karena melalui ulah mereka sendiri, maka hak-hak merdeka adiknya itu
direngut begitu saja.
-
Mereka merampas
hak hidup adiknya untuk menikmati kehidupan bersama ayah tercinta.
Mestinya sebagai kakak mereka
harus memberikan perlindungan kepada adiknya, mereka harus membimbing,
mengarahkan agar potensi yang ada pada adik mereka dapat tersalur
dan dikembangkan dengan baik. Bukan sebaliknya menghancurkan hidupnya dan masa
depannya.
Realitas hidup seperti ini, juga sering terjadi dalam kehidupan kita
sebagai orang-orang percaya maupun warga bangsa.
Tidak sedikit dari orang-orang kristen yang tak bisa
menikmati hidupnya, karena hak kemerdekaannya dirampas oleh pihak-pihak lain
yang berkuasa di Republik ini.
Apakah hak untuk beribadah, hak untuk membangun kehidupan ekonomi,
hak untuk membangun kehidupan politik dll.
Contoh hak untuk beribadah misalnya :
- Akhir-akhir ini ada kelompok-kelompok
agama tertentu yang berusaha menghancurkan gedung-gedung gereja, melarang orang
untuk beribadah di Mol2 dll. Kemarin
saya baca di salah satu situs Internet, ada surat terbuka yang dilayangkan dari
Media Indonesia yang ditulis oleh
Gantyo Koespradono, yang berisikan penyesalan Pimpinan Gereja-Gereja di
Indonesia, akibat diskriminasi yang dialami oleh orang-orang Kristen dan SBY
diam saja.
- Ada
banyak suami yang menghalang-halangi istrinya untuk tidak terlibat dalam
persekutuan ibadah.
-
Ada banyak orang tua yang justru melarang anak-anaknya untuk
beribadah, yang penting bantu mama dan papa pi kabong.
Demikian pula ada orang tua yang enggan untuk
memfasilitasi anak-anaknya untuk sekolah. Katanya,…yang penting
dong bisa pake, bisa makan cukup. Pada hal mereka butuh kehidupan yang lebih
layak di masa depan.
-
Ada pejabat yang
karena ingin menang sendiri, ingin senang sendiri merampas hak-hak bawahannya.
-
Banyak orang
kristen yang merampas hak-hak saudaranya sendiri. Apakah tanah, apakah rumah, apakah tanaman, dll. Ini semua
menunjukan bahwa kita belum memiliki kemerdekaan sejati itu.
Oleh karena itu firman Tuhan mengajak kita untuk tidak
merampas hak orang lain, tetapi nikmatilah apa yang menjadi hak kita, puaskan
diri dengan apa yang menjadi hak kita dan memberikan kesempatan kepada orang
lain untuk menikmati hak-hak hidup mereka.
Di tengah-tengah ketakutan saudara-saudara Yusuf, ada hal
yang sangat menarik yang dilakukan sebagai orang-orang yang merasa bersalah
yaitu ; siap mengakui kesalahan dan siap menanggung resiko terhadap
perbuatannya.
Hal itu terungkap melalui sikap mereka yang datang sendiri
kepada Yusuf meminta pengampunannya, serta siap untuk menjadi budaknya.
Tegasnya dikatakan ; “Juga saudara-saudaranya datang sendiri dan sujud
didepannya serta berkata ; “kami datang untuk menjadi budakmu”. (ayat18). Mereka datang sendiri berhadapan dengan
Yusuf, menyatakan kesalahan mereka dan siap menanggung resiko.
-
Hal ini tidak
saja akan membantu meringankan beban psikologi (ketakutan) yang selalu
menghantuinya sebagai akibat dari perbuatannya.
Tetapi ini juga menunjukan bahwa dia siap membebaskan diri dari ketakutan
karena dosa itu.
Ini penting untuk dihadapkan, oleh karena banyak orang
kristen yang sulit sekali mau mengakui kesalahan mereka.
Mereka selalu mencari kambing hitam dengan menyalahkan orang lain atas berbagai peristiwa yang
dialami.
Mereka merasa gengsi kalau harus menyatakan bahwa mereka salah. Apalagi orang
itu adalah pembantu saya, orang itu adalah istri saya, orang itu adalah suami
saya, orang itu adalah anak saya, orang itu adalah bawahan saya dstnya.
Demikian pula bila kesalahan mereka terbongkar dan diminta
mereka mempertanggung jawabkan perbuatan mereka mereka selalu menghindar. Tidak
mau menanggung resiko.
Karena itu sebagai orang-orang yang sudah merdeka firman
Tuhan mengajarkan kita untuk berani menyatakan kesalahan kita dan siap untuk
menanggung resikonya. Itu adalah wujud orang-orang yang sudah dimerdekakan.
Perkara Kedua : Orang
yang merdeka adalah orang yang bersedia untuk mengampuni orang lain.
Disebutkan dalam teks kita bahwa ketika Yusuf mendengar
bahwa saudara-saudaranya meragukan ketulusannya untuk memberikan pengampunan
kepada mereka maka ia menangis. Tegasnya dikatakan : “Lalu menangisah Yusuf”.
(ayat 17 bagian terakhir).
Tangisan Yusuf ini disebabkan karena beberapa hal ;
1.
Yusuf merasa
bahwa saudara-saudaranya belum sepenuhnya membuka hati untuk menerima
pengampunannya.
Pada hal Yusuf telah menunjukan pengampunannya kepada
saudara-saudaranya sejak ia memperkenalkan dirinya. “dekat-dekatlah kemari,
akulah Yusuf saudaramu yang kamu jual ke Mesir,…jangan bersusah hati dan jangan
menyesali diri”. (45:4) Bahkan Yusuf mencium saudara-saudaranya. (45:15).
Kalau Yusuf tidak mengampuni mereka
mungkin saja mereka sudah di bunuh atau menjadi budak pada waktu itu. Demikian juga dia memfasilitasi mereka untuk
tinggal di Mesir.
Kenapa demikian ??? Oleh karena mereka selalu menggunakan
ukuran mereka untuk mengukur ketulusan orang lain.
Artinya karena mereka biasa merancang kejahatan kepada orang
lain, maka mereka selalu takut bahwa orang yang berbuat tulus kepada mereka
juga akan melakukan hal yang sama kepada mereka.
Saudaraku !!!
kenyataan seperti ini juga sering terjadi dalam kehidupan
kita. Kadang karena kita suka untuk meracang kejahatan, iri, dengki dengan
orang lain, maka ketika kita berada pada titik yang paling rendah, kita akan
berpikir orang lain akan menggunakan kesempatan itu untuk menghancurkan kita.
2.
Yusuf menangis,
karena Yusuf tahu bahwa ia hanyalah seorang hamba Allah dan bukan Allah.
Ia sedikitpun tidak punya hak untuk membalas dendam atas
perbuatan orang lain kepadanya.
Membalas dendam itu adalah hak Allah, dan ia tidak ingin
merampas hak Allah. Ia hanya ingin menjalani kehidupan ini sesuai rencana
Allah.
Karena itu ia merasa berkewajiban untuk mengampuni orang
lain termasuk saudara-saudaranya sendiri. Ia mengampuni saudara-saudaranya bukan
karena ayahnya masih hidup. Tetapi itu kewajiban sebagai hamba Allah untuk
memberikan pengampunan.
Hal ini penting saudara-saudara, oleh
karena dalam kehidupan kita sering kali kita sulit memberikan pengampunan
kepada orang lain.
Kita selalu mendendam orang lain atas perbuatan mereka yang
menyakitkan hati kita misalnya.
Kadang pengampunan kita itu hanya di bibir saja.
Pengampunan yang kita berikan itu hanya formalitas saja,
supaya orang lain tahu, publik tahu bahwa oh,…kita ni orang bae. Tapi dalam
hati nih,…ale tunggu e,….nanti ada kesempatan beta hantam kasih ancor se,…se
pung keluarga bahkan se pung turunan,…!! Seperti itu yang berlaku dalam
kehidupan kekristenan kita.
Saudaraku,…!!
Firman Tuhan mau bilang bagi kita, bahwa kita harus dengan
tulus hati memberikan pengampunan kepada orang yang telah bersalah, sebagai
wujud cinta kasih kita kepada Tuhan, yang juga telah mengampuni segala dosa
kita.
Seorang teolog terkenal yaitu Marten Luther King berkata :
“kalau kita membalas dendam dengan dendam, maka akan memperanakan dendam, dan
dendam tidak akan pernah berakhir, karena itu dendam mesti dirobah dengan cinta
kasih.
Nah, kalau kita telah melepaskan diri dari dendam dan
memberikan pengampunan kepada orang lain, maka itu adalah wujud kemerdekaan
sejati yang kita praktekkan dalam hidup kita.
Perkara Ketiga : Bahwa orang yang merdeka adalah orang
yang siap mengusahakan kesejahteraan orang lain.
Dalam teks kita disebutkan bahwa Yusuf tidak saja memberikan
pengampunan kepada saudara-saudaranya, tetapi juga menghadirkan dirinya sebagai
jaminan bagi kehidupan dan masa depan saudara-saudaranya. Jelasnya
dikatakan : “Jangan takut, aku akan menanggung makananmu, dan makan anak-anakmu
juga”. (ayat 21).
Jadi mengampuni orang lain harus dilanjutkan
dengan aksi konkrit, yakni bersama-sama menanggung beban hidupnya.
Mengampuni berarti pula siap berbagi apa yang ada padanya
dengan orang yang diampuni. Jadi tidak sekedar membebaskan
dia dari status sebagai budak, tetapi menjadikan dia sebagai orang yang merdeka
dalam seluruh aspek hidupnya.
Mengampuni
berarti juga siap untuk menghadirkan diri sebagai pelindung dan pengayom, serta siap untuk membimbing
mereka ke jalan yang benar. Ini wujud dari kemerdekaan sejati.
Perkara Keempat : Orang yang merdeka adalah orang yang
siap untuk terlibat dalam rencana Allah.
Dalam teks kita disebutkan bahwa Yusuf tidak pernah berpikir
bahwa penderitaan yang dialaminya, mulai dari dia di buang ke dalam sumur, di
jual ke Mesir, dimasukan kepenjara akibat ulah istri Potifar, adalah karena
perbuatan saudara-saudaranya.
Tetapi ia memaknainya sebagai bagian dari rencana Allah atas
hidupnya.
Karena itu dengan tegas ia katakan : “Memang kamu telah mereka-rekakan
yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekanya untuk kebaikan,
dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara
hidup suatu bangsa yang besar. (ayat 20).
Disini Yusuf menyadari betapa hidupnya hanya alat ditangan Allah.
Dan karena itu ia harus melakukan apa yang dikehendaki Allah atas hidupnya, dan
bukan apa yang ia mau.
Sebetulnya ia punya banyak peluang untuk melakukan hal yang
jahat di mata Tuhan.
-
Memenuhi keinginan istri Potifar,
-
Memperkaya diri dengan jabatannya saat
itu.
-
Membalaskan sakit hatinya kepada
saudara-saudaranya yang telah bertindak kasar kepadanya.
Tapi itu tidak ia lakukan, karena sekali lagi ia tahu bahwa
ia hanya alat di tangan Tuhan.
Dan tugasnya adalah mengikuti apa yang Allah mau, termasuk
mengalami berbagai penderitaan dan ketidaknyamanan.
Karena itu sebagai orang yang sudah merdeka, kita juga harus
siap untuk menjadi alat di tangan Tuhan bagi rencana keselamatanNya. Jadilah
ayah yang bertanggung jawab, ibu yang bertanggung jawab, anak yang bertanggung
jawab, pelayan yang bertanggung jawab adalah wujud dari sikap kita menjadi alat
di tangan Tuhan untuk rencana penyelamatanNya. Amin.
Oleh :
Pdt. Jan. Z. Matatula, S.Th.
(Sekretaris Klasis GPM Masohi)
(Disampaikan dalam kebaktian Minggu di Jemaat GPM
Nuweletetu, Klasis GPM Masohi
22 Agustus 2010 ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar