HIDUP UNTUK BERSAKSI

HIDUP UNTUK BERSAKSI
Ronella Waitibu

Senin, 02 September 2013

MEWUJUDKAN CINTA KASIH TUHAN DENGAN MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN SEJATI.


 

TEKS : Kejadian 50 : 15 -21.




Syaloom !!!
Saya melihat dan merasakan betapa kita semua bersukacita di pagi ini. Tentunya kita bersukacita karena Tuhan masih memberikan kita nafas hidup yang memungkinkan kita berada disaat ini dalam suatu persekutuan umat yang beribadah.
Kita juga bersukacita oleh karena beberapa hari yang lalu sebagai bangsa, kita dianugerahkan Tuhan kesempatan untuk merayakan bertambahnya setahun usia bagi bangsa kita, hingga mencapai usia ke 65 tahun. Tetapi serentak dengan semakin tuanya usia bangsa ini, kita selalu diperhadapkan dengan pertanyaan ; apakah bangsa ini sudah sungguh-sungguh merdeka ???? Kalau bangsa ini sungguh-sungguh merdeka, kenapa mesti ada berbagai tindakan ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi dimana-mana ???. Mengapa ada begitu banyak tindakan-tindakan kekerasan, diskriminasi ras dan agama dll. Itu patut direnungkan.
Kita juga bersukacita, oleh karena sebagai orang yang percaya pada Kristus,  kita juga adalah orang-orang yang sudah merdeka, karena dimerdekakan oleh Kristus, dari segala dosa dan kecemaran kita. Pertanyaan kita adalah apakah selama ini kita juga telah merefleksikan kemerdekaan kekristenan itu dalam kehidupan sesehari kita ???. sementara yang terjadi dalam konteks hidup kita sesehari adalah; Penipuan, fitnah, iri hati, dendam, kebencian selalu mewarnai sikap dan perilaku kekristenan kita, yang pada gilirannya akan akan menghancurkan kehidupan pribadi, keluarga bahkan masa depan kita.
Nah, karena itu yang patut kita renungkan sekarang adalah bagaimana kita memaknai kemerdekaan kita baik sebagai bangsa maupun sebagai orang-orang Kristen dalam mengisi kemerdekaan itu. Mari kita merenungkan teks bacaan kita tadi Kejadian 50 : 15-21, dalam sorotan tema mingguan ; Mewujudkan cinta kasih Tuhan dengan memperjuangkan kemerdekaan yang sejati.

Kalau kita membaca teks ini dengan baik, maka paling tidak ada 4 Perkara  yang mau dihadapkan kepada kita :

Perkara Pertama : Orang yang merdeka adalah orang yang tidak merampas hak hidup orang lain.

Dalam teks kita disebutkan bahwa  ada kekuatiran dan ketakutan yang luar biasa, yang dialami saudara-saudara Yusuf, ketika ayahnya meninggal dunia. Jelasnya dikatakan : “ boleh jadi Yusuf akan mendendam kita dan membalaskan sepenuhnya kepada kita segala kejahatan yang telah kita lakukan kepadanya”. (ayat 15b).
Kekuatiran dan ketakutan  saudara-saudara Yusuf adalah sangat beralasan. Kenapa ??? Oleh karena mereka merasa bersalah.
-       Mereka merasa bersalah karena telah melakukan suatu perbuatan yang keji bagi adik mereka sendiri. Sikap  iri hati, dengki, benci  kemudian berujung pada upaya menghancurkan hidup adiknya, adalah suatu perbuatan bengis yang telah mereka lakukan bukan untuk orang lain, tapi adik mereka sendiri.  
-       Mereka merasa bersalah oleh karena melalui ulah mereka sendiri, maka hak-hak merdeka adiknya itu direngut begitu saja.
-       Mereka merampas hak hidup adiknya untuk menikmati kehidupan bersama ayah tercinta.

Mestinya sebagai kakak mereka harus memberikan perlindungan kepada adiknya, mereka harus membimbing, mengarahkan agar potensi yang ada pada adik mereka dapat tersalur dan dikembangkan dengan baik. Bukan sebaliknya menghancurkan hidupnya dan masa depannya.

Realitas hidup seperti ini,  juga sering terjadi dalam kehidupan kita sebagai orang-orang percaya maupun warga bangsa.
Tidak sedikit dari orang-orang kristen yang tak bisa menikmati hidupnya, karena hak kemerdekaannya dirampas oleh pihak-pihak lain yang berkuasa di Republik ini.  
Apakah hak untuk beribadah, hak untuk membangun kehidupan ekonomi, hak untuk membangun kehidupan politik dll.
Contoh hak untuk beribadah misalnya :
- Akhir-akhir ini ada kelompok-kelompok agama tertentu yang berusaha menghancurkan gedung-gedung gereja, melarang orang untuk beribadah di Mol2 dll.  Kemarin saya baca di salah satu situs Internet, ada surat terbuka yang dilayangkan dari Media Indonesia yang ditulis oleh Gantyo Koespradono, yang berisikan penyesalan Pimpinan Gereja-Gereja di Indonesia, akibat diskriminasi yang dialami oleh orang-orang Kristen dan SBY diam saja.
-   Ada banyak suami yang menghalang-halangi istrinya untuk tidak terlibat dalam persekutuan ibadah.
-  Ada banyak orang tua yang justru melarang anak-anaknya untuk beribadah, yang penting bantu mama dan papa pi kabong.  

Demikian pula ada orang tua yang enggan untuk memfasilitasi anak-anaknya untuk sekolah. Katanya,…yang penting dong bisa pake, bisa makan cukup. Pada hal mereka butuh kehidupan yang lebih layak di masa depan.
-       Ada pejabat yang karena ingin menang sendiri, ingin senang sendiri merampas hak-hak bawahannya.
-       Banyak orang kristen yang merampas hak-hak saudaranya sendiri. Apakah tanah, apakah rumah, apakah tanaman, dll. Ini semua menunjukan bahwa kita belum memiliki kemerdekaan sejati itu.

Oleh karena itu firman Tuhan mengajak kita untuk tidak merampas hak orang lain, tetapi nikmatilah apa yang menjadi hak kita, puaskan diri dengan apa yang menjadi hak kita dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menikmati hak-hak hidup mereka.

Di tengah-tengah ketakutan saudara-saudara Yusuf, ada hal yang sangat menarik yang dilakukan sebagai orang-orang yang merasa bersalah yaitu ; siap mengakui kesalahan dan siap menanggung resiko terhadap perbuatannya.
Hal itu terungkap melalui sikap mereka yang datang sendiri kepada Yusuf meminta pengampunannya, serta siap untuk menjadi budaknya. Tegasnya dikatakan ; “Juga saudara-saudaranya datang sendiri dan sujud didepannya serta berkata ; “kami datang untuk menjadi budakmu”. (ayat18).  Mereka datang sendiri berhadapan dengan Yusuf, menyatakan kesalahan mereka dan siap menanggung resiko.  
-       Hal ini tidak saja akan membantu meringankan beban psikologi (ketakutan) yang selalu menghantuinya sebagai  akibat dari perbuatannya. Tetapi ini juga menunjukan bahwa dia siap membebaskan diri dari ketakutan karena dosa itu.
Ini penting untuk dihadapkan, oleh karena banyak orang kristen yang sulit sekali mau mengakui kesalahan mereka.
Mereka selalu mencari kambing hitam dengan menyalahkan orang lain atas berbagai peristiwa yang dialami.
Mereka merasa gengsi kalau harus menyatakan bahwa mereka salah. Apalagi orang itu adalah pembantu saya, orang itu adalah istri saya, orang itu adalah suami saya, orang itu adalah anak saya, orang itu adalah bawahan saya dstnya.

Demikian pula bila kesalahan mereka terbongkar dan diminta mereka mempertanggung jawabkan perbuatan mereka mereka selalu menghindar. Tidak mau menanggung resiko.
Karena itu sebagai orang-orang yang sudah merdeka firman Tuhan mengajarkan kita untuk berani menyatakan kesalahan kita dan siap untuk menanggung resikonya. Itu adalah wujud orang-orang yang sudah dimerdekakan.

Perkara Kedua : Orang yang merdeka adalah orang yang bersedia untuk mengampuni orang lain.

Disebutkan dalam teks kita bahwa ketika Yusuf mendengar bahwa saudara-saudaranya meragukan ketulusannya untuk memberikan pengampunan kepada mereka maka ia menangis. Tegasnya dikatakan : “Lalu menangisah Yusuf”. (ayat 17 bagian terakhir).
Tangisan Yusuf ini disebabkan karena beberapa hal ;
1.   Yusuf merasa bahwa saudara-saudaranya belum sepenuhnya membuka hati untuk menerima pengampunannya. 
Pada hal Yusuf telah menunjukan pengampunannya kepada saudara-saudaranya sejak ia memperkenalkan dirinya. “dekat-dekatlah kemari, akulah Yusuf saudaramu yang kamu jual ke Mesir,…jangan bersusah hati dan jangan menyesali diri”. (45:4) Bahkan Yusuf mencium saudara-saudaranya. (45:15).
Kalau Yusuf tidak mengampuni mereka mungkin saja mereka sudah di bunuh atau menjadi budak pada waktu itu.  Demikian juga dia memfasilitasi mereka untuk tinggal di Mesir.

Kenapa demikian ??? Oleh karena mereka selalu menggunakan ukuran mereka untuk mengukur ketulusan orang lain.
Artinya karena mereka biasa merancang kejahatan kepada orang lain, maka mereka selalu takut bahwa orang yang berbuat tulus kepada mereka juga akan melakukan hal yang sama kepada mereka.

Saudaraku !!!
kenyataan seperti ini juga sering terjadi dalam kehidupan kita. Kadang karena kita suka untuk meracang kejahatan, iri, dengki dengan orang lain, maka ketika kita berada pada titik yang paling rendah, kita akan berpikir orang lain akan menggunakan kesempatan itu untuk menghancurkan kita.

2.   Yusuf menangis, karena Yusuf tahu bahwa ia hanyalah seorang hamba Allah dan bukan Allah.
Ia sedikitpun tidak punya hak untuk membalas dendam atas perbuatan orang lain kepadanya.
Membalas dendam itu adalah hak Allah, dan ia tidak ingin merampas hak Allah. Ia hanya ingin menjalani kehidupan ini sesuai rencana Allah.
Karena itu ia merasa berkewajiban untuk mengampuni orang lain termasuk saudara-saudaranya sendiri. Ia mengampuni saudara-saudaranya bukan karena ayahnya masih hidup. Tetapi itu kewajiban sebagai hamba Allah untuk memberikan pengampunan.

Hal ini penting saudara-saudara, oleh karena dalam kehidupan kita sering kali kita sulit memberikan pengampunan kepada orang lain.
Kita selalu mendendam orang lain atas perbuatan mereka yang menyakitkan hati kita misalnya.
Kadang pengampunan kita itu hanya di bibir saja.
Pengampunan yang kita berikan itu hanya formalitas saja, supaya orang lain tahu, publik tahu bahwa oh,…kita ni orang bae. Tapi dalam hati nih,…ale tunggu e,….nanti ada kesempatan beta hantam kasih ancor se,…se pung keluarga bahkan se pung turunan,…!! Seperti itu yang berlaku dalam kehidupan kekristenan kita.

Saudaraku,…!!
Firman Tuhan mau bilang bagi kita, bahwa kita harus dengan tulus hati memberikan pengampunan kepada orang yang telah bersalah, sebagai wujud cinta kasih kita kepada Tuhan, yang juga telah mengampuni segala dosa kita.
Seorang teolog terkenal yaitu Marten Luther King berkata : “kalau kita membalas dendam dengan dendam, maka akan memperanakan dendam, dan dendam tidak akan pernah berakhir, karena itu dendam mesti dirobah dengan cinta kasih.

Nah, kalau kita telah melepaskan diri dari dendam dan memberikan pengampunan kepada orang lain, maka itu adalah wujud kemerdekaan sejati yang kita praktekkan dalam hidup kita.

Perkara Ketiga : Bahwa orang yang merdeka adalah orang yang siap mengusahakan kesejahteraan orang lain.

Dalam teks kita disebutkan bahwa Yusuf tidak saja memberikan pengampunan kepada saudara-saudaranya, tetapi juga menghadirkan dirinya sebagai jaminan bagi kehidupan dan masa depan saudara-saudaranya. Jelasnya dikatakan : “Jangan takut, aku akan menanggung makananmu, dan makan anak-anakmu juga”. (ayat 21).
Jadi mengampuni orang lain harus dilanjutkan dengan aksi konkrit, yakni bersama-sama menanggung beban hidupnya.
Mengampuni berarti pula siap berbagi apa yang ada padanya dengan orang yang diampuni.  Jadi tidak sekedar membebaskan dia dari status sebagai budak, tetapi menjadikan dia sebagai orang yang merdeka dalam seluruh aspek hidupnya.
Mengampuni berarti juga siap untuk menghadirkan diri sebagai pelindung  dan pengayom, serta siap untuk membimbing mereka ke jalan yang benar. Ini wujud dari kemerdekaan sejati.

Perkara Keempat : Orang yang merdeka adalah orang yang siap untuk terlibat dalam rencana Allah.
Dalam teks kita disebutkan bahwa Yusuf tidak pernah berpikir bahwa penderitaan yang dialaminya, mulai dari dia di buang ke dalam sumur, di jual ke Mesir, dimasukan kepenjara akibat ulah istri Potifar, adalah karena perbuatan saudara-saudaranya.
Tetapi ia memaknainya sebagai bagian dari rencana Allah atas hidupnya.
Karena itu dengan tegas ia katakan : “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekanya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. (ayat 20).
Disini Yusuf menyadari betapa hidupnya hanya alat ditangan Allah. Dan karena itu ia harus melakukan apa yang dikehendaki Allah atas hidupnya, dan bukan apa yang ia mau.

Sebetulnya ia punya banyak peluang untuk melakukan hal yang jahat di mata Tuhan.
-          Memenuhi keinginan istri Potifar,
-          Memperkaya diri dengan jabatannya saat itu.
-          Membalaskan sakit hatinya kepada saudara-saudaranya yang telah bertindak kasar kepadanya.
Tapi itu tidak ia lakukan, karena sekali lagi ia tahu bahwa ia hanya alat di tangan Tuhan.
Dan tugasnya adalah mengikuti apa yang Allah mau, termasuk mengalami berbagai penderitaan dan ketidaknyamanan.
Karena itu sebagai orang yang sudah merdeka, kita juga harus siap untuk menjadi alat di tangan Tuhan bagi rencana keselamatanNya. Jadilah ayah yang bertanggung jawab, ibu yang bertanggung jawab, anak yang bertanggung jawab, pelayan yang bertanggung jawab adalah wujud dari sikap kita menjadi alat di tangan Tuhan untuk rencana penyelamatanNya. Amin.

Oleh :
Pdt. Jan. Z. Matatula, S.Th.
(Sekretaris Klasis GPM Masohi)

(Disampaikan dalam kebaktian Minggu di Jemaat GPM Nuweletetu, Klasis GPM Masohi
22 Agustus 2010 ).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar