HIDUP UNTUK BERSAKSI

HIDUP UNTUK BERSAKSI
Ronella Waitibu

Senin, 02 September 2013

MEWUJUDKAN CINTA KASIH TUHAN DENGAN MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN SEJATI.


 

TEKS : Kejadian 50 : 15 -21.




Syaloom !!!
Saya melihat dan merasakan betapa kita semua bersukacita di pagi ini. Tentunya kita bersukacita karena Tuhan masih memberikan kita nafas hidup yang memungkinkan kita berada disaat ini dalam suatu persekutuan umat yang beribadah.
Kita juga bersukacita oleh karena beberapa hari yang lalu sebagai bangsa, kita dianugerahkan Tuhan kesempatan untuk merayakan bertambahnya setahun usia bagi bangsa kita, hingga mencapai usia ke 65 tahun. Tetapi serentak dengan semakin tuanya usia bangsa ini, kita selalu diperhadapkan dengan pertanyaan ; apakah bangsa ini sudah sungguh-sungguh merdeka ???? Kalau bangsa ini sungguh-sungguh merdeka, kenapa mesti ada berbagai tindakan ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi dimana-mana ???. Mengapa ada begitu banyak tindakan-tindakan kekerasan, diskriminasi ras dan agama dll. Itu patut direnungkan.
Kita juga bersukacita, oleh karena sebagai orang yang percaya pada Kristus,  kita juga adalah orang-orang yang sudah merdeka, karena dimerdekakan oleh Kristus, dari segala dosa dan kecemaran kita. Pertanyaan kita adalah apakah selama ini kita juga telah merefleksikan kemerdekaan kekristenan itu dalam kehidupan sesehari kita ???. sementara yang terjadi dalam konteks hidup kita sesehari adalah; Penipuan, fitnah, iri hati, dendam, kebencian selalu mewarnai sikap dan perilaku kekristenan kita, yang pada gilirannya akan akan menghancurkan kehidupan pribadi, keluarga bahkan masa depan kita.
Nah, karena itu yang patut kita renungkan sekarang adalah bagaimana kita memaknai kemerdekaan kita baik sebagai bangsa maupun sebagai orang-orang Kristen dalam mengisi kemerdekaan itu. Mari kita merenungkan teks bacaan kita tadi Kejadian 50 : 15-21, dalam sorotan tema mingguan ; Mewujudkan cinta kasih Tuhan dengan memperjuangkan kemerdekaan yang sejati.

Kalau kita membaca teks ini dengan baik, maka paling tidak ada 4 Perkara  yang mau dihadapkan kepada kita :

Perkara Pertama : Orang yang merdeka adalah orang yang tidak merampas hak hidup orang lain.

Dalam teks kita disebutkan bahwa  ada kekuatiran dan ketakutan yang luar biasa, yang dialami saudara-saudara Yusuf, ketika ayahnya meninggal dunia. Jelasnya dikatakan : “ boleh jadi Yusuf akan mendendam kita dan membalaskan sepenuhnya kepada kita segala kejahatan yang telah kita lakukan kepadanya”. (ayat 15b).
Kekuatiran dan ketakutan  saudara-saudara Yusuf adalah sangat beralasan. Kenapa ??? Oleh karena mereka merasa bersalah.
-       Mereka merasa bersalah karena telah melakukan suatu perbuatan yang keji bagi adik mereka sendiri. Sikap  iri hati, dengki, benci  kemudian berujung pada upaya menghancurkan hidup adiknya, adalah suatu perbuatan bengis yang telah mereka lakukan bukan untuk orang lain, tapi adik mereka sendiri.  
-       Mereka merasa bersalah oleh karena melalui ulah mereka sendiri, maka hak-hak merdeka adiknya itu direngut begitu saja.
-       Mereka merampas hak hidup adiknya untuk menikmati kehidupan bersama ayah tercinta.

Mestinya sebagai kakak mereka harus memberikan perlindungan kepada adiknya, mereka harus membimbing, mengarahkan agar potensi yang ada pada adik mereka dapat tersalur dan dikembangkan dengan baik. Bukan sebaliknya menghancurkan hidupnya dan masa depannya.

Realitas hidup seperti ini,  juga sering terjadi dalam kehidupan kita sebagai orang-orang percaya maupun warga bangsa.
Tidak sedikit dari orang-orang kristen yang tak bisa menikmati hidupnya, karena hak kemerdekaannya dirampas oleh pihak-pihak lain yang berkuasa di Republik ini.  
Apakah hak untuk beribadah, hak untuk membangun kehidupan ekonomi, hak untuk membangun kehidupan politik dll.
Contoh hak untuk beribadah misalnya :
- Akhir-akhir ini ada kelompok-kelompok agama tertentu yang berusaha menghancurkan gedung-gedung gereja, melarang orang untuk beribadah di Mol2 dll.  Kemarin saya baca di salah satu situs Internet, ada surat terbuka yang dilayangkan dari Media Indonesia yang ditulis oleh Gantyo Koespradono, yang berisikan penyesalan Pimpinan Gereja-Gereja di Indonesia, akibat diskriminasi yang dialami oleh orang-orang Kristen dan SBY diam saja.
-   Ada banyak suami yang menghalang-halangi istrinya untuk tidak terlibat dalam persekutuan ibadah.
-  Ada banyak orang tua yang justru melarang anak-anaknya untuk beribadah, yang penting bantu mama dan papa pi kabong.  

Demikian pula ada orang tua yang enggan untuk memfasilitasi anak-anaknya untuk sekolah. Katanya,…yang penting dong bisa pake, bisa makan cukup. Pada hal mereka butuh kehidupan yang lebih layak di masa depan.
-       Ada pejabat yang karena ingin menang sendiri, ingin senang sendiri merampas hak-hak bawahannya.
-       Banyak orang kristen yang merampas hak-hak saudaranya sendiri. Apakah tanah, apakah rumah, apakah tanaman, dll. Ini semua menunjukan bahwa kita belum memiliki kemerdekaan sejati itu.

Oleh karena itu firman Tuhan mengajak kita untuk tidak merampas hak orang lain, tetapi nikmatilah apa yang menjadi hak kita, puaskan diri dengan apa yang menjadi hak kita dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menikmati hak-hak hidup mereka.

Di tengah-tengah ketakutan saudara-saudara Yusuf, ada hal yang sangat menarik yang dilakukan sebagai orang-orang yang merasa bersalah yaitu ; siap mengakui kesalahan dan siap menanggung resiko terhadap perbuatannya.
Hal itu terungkap melalui sikap mereka yang datang sendiri kepada Yusuf meminta pengampunannya, serta siap untuk menjadi budaknya. Tegasnya dikatakan ; “Juga saudara-saudaranya datang sendiri dan sujud didepannya serta berkata ; “kami datang untuk menjadi budakmu”. (ayat18).  Mereka datang sendiri berhadapan dengan Yusuf, menyatakan kesalahan mereka dan siap menanggung resiko.  
-       Hal ini tidak saja akan membantu meringankan beban psikologi (ketakutan) yang selalu menghantuinya sebagai  akibat dari perbuatannya. Tetapi ini juga menunjukan bahwa dia siap membebaskan diri dari ketakutan karena dosa itu.
Ini penting untuk dihadapkan, oleh karena banyak orang kristen yang sulit sekali mau mengakui kesalahan mereka.
Mereka selalu mencari kambing hitam dengan menyalahkan orang lain atas berbagai peristiwa yang dialami.
Mereka merasa gengsi kalau harus menyatakan bahwa mereka salah. Apalagi orang itu adalah pembantu saya, orang itu adalah istri saya, orang itu adalah suami saya, orang itu adalah anak saya, orang itu adalah bawahan saya dstnya.

Demikian pula bila kesalahan mereka terbongkar dan diminta mereka mempertanggung jawabkan perbuatan mereka mereka selalu menghindar. Tidak mau menanggung resiko.
Karena itu sebagai orang-orang yang sudah merdeka firman Tuhan mengajarkan kita untuk berani menyatakan kesalahan kita dan siap untuk menanggung resikonya. Itu adalah wujud orang-orang yang sudah dimerdekakan.

Perkara Kedua : Orang yang merdeka adalah orang yang bersedia untuk mengampuni orang lain.

Disebutkan dalam teks kita bahwa ketika Yusuf mendengar bahwa saudara-saudaranya meragukan ketulusannya untuk memberikan pengampunan kepada mereka maka ia menangis. Tegasnya dikatakan : “Lalu menangisah Yusuf”. (ayat 17 bagian terakhir).
Tangisan Yusuf ini disebabkan karena beberapa hal ;
1.   Yusuf merasa bahwa saudara-saudaranya belum sepenuhnya membuka hati untuk menerima pengampunannya. 
Pada hal Yusuf telah menunjukan pengampunannya kepada saudara-saudaranya sejak ia memperkenalkan dirinya. “dekat-dekatlah kemari, akulah Yusuf saudaramu yang kamu jual ke Mesir,…jangan bersusah hati dan jangan menyesali diri”. (45:4) Bahkan Yusuf mencium saudara-saudaranya. (45:15).
Kalau Yusuf tidak mengampuni mereka mungkin saja mereka sudah di bunuh atau menjadi budak pada waktu itu.  Demikian juga dia memfasilitasi mereka untuk tinggal di Mesir.

Kenapa demikian ??? Oleh karena mereka selalu menggunakan ukuran mereka untuk mengukur ketulusan orang lain.
Artinya karena mereka biasa merancang kejahatan kepada orang lain, maka mereka selalu takut bahwa orang yang berbuat tulus kepada mereka juga akan melakukan hal yang sama kepada mereka.

Saudaraku !!!
kenyataan seperti ini juga sering terjadi dalam kehidupan kita. Kadang karena kita suka untuk meracang kejahatan, iri, dengki dengan orang lain, maka ketika kita berada pada titik yang paling rendah, kita akan berpikir orang lain akan menggunakan kesempatan itu untuk menghancurkan kita.

2.   Yusuf menangis, karena Yusuf tahu bahwa ia hanyalah seorang hamba Allah dan bukan Allah.
Ia sedikitpun tidak punya hak untuk membalas dendam atas perbuatan orang lain kepadanya.
Membalas dendam itu adalah hak Allah, dan ia tidak ingin merampas hak Allah. Ia hanya ingin menjalani kehidupan ini sesuai rencana Allah.
Karena itu ia merasa berkewajiban untuk mengampuni orang lain termasuk saudara-saudaranya sendiri. Ia mengampuni saudara-saudaranya bukan karena ayahnya masih hidup. Tetapi itu kewajiban sebagai hamba Allah untuk memberikan pengampunan.

Hal ini penting saudara-saudara, oleh karena dalam kehidupan kita sering kali kita sulit memberikan pengampunan kepada orang lain.
Kita selalu mendendam orang lain atas perbuatan mereka yang menyakitkan hati kita misalnya.
Kadang pengampunan kita itu hanya di bibir saja.
Pengampunan yang kita berikan itu hanya formalitas saja, supaya orang lain tahu, publik tahu bahwa oh,…kita ni orang bae. Tapi dalam hati nih,…ale tunggu e,….nanti ada kesempatan beta hantam kasih ancor se,…se pung keluarga bahkan se pung turunan,…!! Seperti itu yang berlaku dalam kehidupan kekristenan kita.

Saudaraku,…!!
Firman Tuhan mau bilang bagi kita, bahwa kita harus dengan tulus hati memberikan pengampunan kepada orang yang telah bersalah, sebagai wujud cinta kasih kita kepada Tuhan, yang juga telah mengampuni segala dosa kita.
Seorang teolog terkenal yaitu Marten Luther King berkata : “kalau kita membalas dendam dengan dendam, maka akan memperanakan dendam, dan dendam tidak akan pernah berakhir, karena itu dendam mesti dirobah dengan cinta kasih.

Nah, kalau kita telah melepaskan diri dari dendam dan memberikan pengampunan kepada orang lain, maka itu adalah wujud kemerdekaan sejati yang kita praktekkan dalam hidup kita.

Perkara Ketiga : Bahwa orang yang merdeka adalah orang yang siap mengusahakan kesejahteraan orang lain.

Dalam teks kita disebutkan bahwa Yusuf tidak saja memberikan pengampunan kepada saudara-saudaranya, tetapi juga menghadirkan dirinya sebagai jaminan bagi kehidupan dan masa depan saudara-saudaranya. Jelasnya dikatakan : “Jangan takut, aku akan menanggung makananmu, dan makan anak-anakmu juga”. (ayat 21).
Jadi mengampuni orang lain harus dilanjutkan dengan aksi konkrit, yakni bersama-sama menanggung beban hidupnya.
Mengampuni berarti pula siap berbagi apa yang ada padanya dengan orang yang diampuni.  Jadi tidak sekedar membebaskan dia dari status sebagai budak, tetapi menjadikan dia sebagai orang yang merdeka dalam seluruh aspek hidupnya.
Mengampuni berarti juga siap untuk menghadirkan diri sebagai pelindung  dan pengayom, serta siap untuk membimbing mereka ke jalan yang benar. Ini wujud dari kemerdekaan sejati.

Perkara Keempat : Orang yang merdeka adalah orang yang siap untuk terlibat dalam rencana Allah.
Dalam teks kita disebutkan bahwa Yusuf tidak pernah berpikir bahwa penderitaan yang dialaminya, mulai dari dia di buang ke dalam sumur, di jual ke Mesir, dimasukan kepenjara akibat ulah istri Potifar, adalah karena perbuatan saudara-saudaranya.
Tetapi ia memaknainya sebagai bagian dari rencana Allah atas hidupnya.
Karena itu dengan tegas ia katakan : “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekanya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. (ayat 20).
Disini Yusuf menyadari betapa hidupnya hanya alat ditangan Allah. Dan karena itu ia harus melakukan apa yang dikehendaki Allah atas hidupnya, dan bukan apa yang ia mau.

Sebetulnya ia punya banyak peluang untuk melakukan hal yang jahat di mata Tuhan.
-          Memenuhi keinginan istri Potifar,
-          Memperkaya diri dengan jabatannya saat itu.
-          Membalaskan sakit hatinya kepada saudara-saudaranya yang telah bertindak kasar kepadanya.
Tapi itu tidak ia lakukan, karena sekali lagi ia tahu bahwa ia hanya alat di tangan Tuhan.
Dan tugasnya adalah mengikuti apa yang Allah mau, termasuk mengalami berbagai penderitaan dan ketidaknyamanan.
Karena itu sebagai orang yang sudah merdeka, kita juga harus siap untuk menjadi alat di tangan Tuhan bagi rencana keselamatanNya. Jadilah ayah yang bertanggung jawab, ibu yang bertanggung jawab, anak yang bertanggung jawab, pelayan yang bertanggung jawab adalah wujud dari sikap kita menjadi alat di tangan Tuhan untuk rencana penyelamatanNya. Amin.

Oleh :
Pdt. Jan. Z. Matatula, S.Th.
(Sekretaris Klasis GPM Masohi)

(Disampaikan dalam kebaktian Minggu di Jemaat GPM Nuweletetu, Klasis GPM Masohi
22 Agustus 2010 ).


KASIH TAK CUKUP HANYA BICARA


 TEKS : I Yohanes 3 : 11  18
 
Syaloom !!!
Di pagi ini saya ingin menantang saudara-saudari dengan pertanyaan berikut; Berapa kali anda mengungkapkan pernyataan kasih atau mengasihi dalam satu hari ???  Berapa kali anda mewujudkan perbuatan kasih bagi sesama dalam sehari ??? Mungkin ada yang mengatakan, terlalu banyak untuk dihitung. Ini baik !!! Itu berarti pula bahwa ungkapan kasih atau mengasihi bukanlah hal yang baru dan asing bagi pendengaran kita.             Bukankah diberbagai kesempatan baik dalam persekutuan ibadah, dalam aktivitas kerja maupun dalam pergaulan sesehari pernyataan kasih dan mengasihi selalu mengemuka. Tidak perduli apakah ungkapan itu keluar dari bibir mulut orang tua, pemuda, remaja atau anak kecil. Tidak perduli apakah ungkapan itu keluar dari mulut seorang penipu, seorang pembunuh, seorang koruptor,  tetapi yang pasti semua orang pernah bicara tentang kasih, bahkan memberlakukan kasih dalam hidupnya. Betul demikian ???
Kalau memang begitu kenyataannya, mengapa dalam kehidupan ini, mesti ada suami yang membantai  istrinya sendiri.  Mengapa seorang kakak tega menghabisi nyawa adiknya sendiri. Mengapa ada orang tua yang merancang kejahatan terhadap anaknya sendiri atau mantunya sendiri. Mengapa ada tindakan kekerasan dari kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas di bumi Nusantara tercinta ini dll.
Itu berarti bahwa ada banyak orang yang belum memahami makna kasih itu secara baik. Mereka hanya menggunakan pernyataan kasih sebagai “lips servis” saja (pemanis bibir saja). Yang celaka lagi ialah, ada orang yang mengidap penyakit kekurangan kasih. 
Masalahnya sekarang adalah,  apakah anda dan saya juga tergolong dalam kelompok orang yang disebutkan di atas ???  Marilah kita melakukan cek up (bukan kesehatan jasmaniah kita),  tetapi cek up terhadap pemahaman dan perbuatan kasih yang kita lakukan dalam kehidupan kita sepanjang hari, berdasarkan firman Tuhan yang kita baca dan dengar bersama  tadi.

Hal Pertama yang dikedepankan dalam hubungan dengan upaya cek up terhadap pemahaman dan perbuatan kasih kita adalah melalui pernyataan penulis ; “Kita harus saling mengasihi”. Pernyataan ini menegaskan bahwa perbuatan kasih adalah suatu keharusan. 
Itu berarti, Kasih bukan soal suka atau tidak suka. Artinya kalau saya suka baru perbuatan kasih saya lakukan. Kalau saya tidak suka perbuatan kasih saya abaikan.
Kasih bukan soal waktu. Artinya ada waktu yang baik baru perbuatan kasih dilakukan. Misalnya nanti dekat-dekat natal atau kunci taoong baru perbuatan kasih dilakukan.
Kasih juga bukan dalam orientasi bisnis. Artinya perbuatan kasih itu dilakukan dalam perhitungan untung rugi. Kalau saya mengasihi dia dan itu menguntungkan saya pasti saya lakukan. Tetapi kalau perbuatan kasih itu merugikan saya,…Oh ! tunggu dulu.
Kasih juga bukan soal siapa yang menjadi objek. Artinya perbuatan kasih itu selalu memperhitungkan siapa objek dari perbuatan kasih itu. Kalau objeknya orang dekat saya, sepaham dengan saya, dia tetangga saya yang suka minum sopi bareng, dia rekan kerja saya yang mengisi absen saya walaupun saya tidak kerja, barulah saya mengasihinya. Tetapi kalau dia musuh saya, kalau dia tidak sepaham dengan saya, saya tidak akan pernah mengasihinya.
            Nah sekarang kita melakukan recek terhadap perbuatan kasih kita. Betulkah perbuatan kasih yang kita lakukan sampai saat ini, masih mengikutsertakan pertimbangan-pertimbangan seperti disebutkan diatas ??  Suka dan tidak suka, untung dan rugi, waktu yang tepat, kerabat atau musuh. Silahkan masing-masing orang menjawabnya.
            Apapun jawaban kita, yang pasti realitas kehidupan kekristenan kita bilang begini ;
a)         saya akan melakukan perbuatan kasih, tetapi “lia-lia tanuar” dolo.  Ya tunggulah nanti ada waktu baru beta mengasihi kau, pada hal semua waktu itu baik.  Betul ???
b)     Saya akan kasih pisang for dia, asal saja dia kasih ikan for saya, walaupun di rumah ketersediaan pisang saya cukup banyak, sampai membusuk malah. Inilah kasih karena pertimbangan bisnis.
c)            Saya mengasihi dia karena dia atasan saya yang selalu memperhatikan kenaikan pangkat dan golongan saya, tapi kalau yang ini tunggu dulu,…pasalnya dialah orang yang selalu menegur saya karena sering absen dari kantor.

            Perbuatan kasih dengan dilatari oleh pertimbangan suka tidak suka, pertimbangan waktu baik dan tidak baik, pertimbangan untung rugi, pertimbangan siobjek penerima kasih, juga dilakukan oleh orang kafir. Kalau kita melakukan perbuatan kasih seperti yang disampaikan tadi, itu artinya kita tidak berbeda dari orang kafir.
            Orang Kristen harus melakukan perbuatan kasih melampaui perbuatan kasih yang dilakukan oleh orang kebanyakan (kafir) itu.
Untuk itu Yesus pernah berujar : “Aku berkata kepadamu: kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. (Matius 5:44). Sebuah pernyataan yang sangat unik dan menarik, tetapi tidak gampang untuk dilakukan. Tetapi disitulah justru esensi kasih Kristiani itu terungkap.         Perbuatan kasih seperti itulah yang membedakan orang Kristen dan orang kebanyakan. Dengan kata lain saya mau katakan bahwa perbuatan kasih yang diajarkan kepada kita harus melampaui dan menembusi berbagai perbedaan yang terkadang dibuat oleh manusia dalam hidup ini. (Kasih harus melampaui ras, suku, kultur, agama, Level social dst.nya).

Kemudian, pernyataan kamu harus saling mengasihi menegaskan pula bahwa kasih itu tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja, tetapi mesti dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam kehidupan ini.  
Karena itu penulis menggunakan ungkapan saling mengasihi.  Nah,…Kalau kita hanya mau menerima perbuatan kasih dari orang lain dan kita sendiri tidak mau melakukan perbuatan kasih kepada orang lain ini tidak benar.
Kalau kita hanya mau menadah tangan tanpa mau mengulurkan tangan itu tidak benar.  Orang yang hanya mau menerima perbuatan kasih dari orang lain dan tidak mau melakukan perbuatan kasih terhadap orang lain akan terjebak dalam sikap hidup kikir. 
Ingatlah bahwa dalam perbuatan kasih tidak ada yang terlalu kecil nilainya yang dapat kita berikan kepada orang lain. Ada saja yang dapat kita berikan sebagai perbuatan kasih kita kepada orang lain.

Cek Up kedua terhadap pemahaman dan perbuatan kasih kita adalah melalui pernyataan ; “setiap orang yang membenci saudaranya adalah seorang pembunuh manusia. (ayat 15a). 
Saya mengajak kita menggaris bawahi kata membenci.   Dalam teks kita disebutkan bahwa justru karena kebencian yang mendalam dari Kain sehingga ia melakukan perbuatan kejahatan. Perbuatan kejahatan itu berwujud dalam bentuk tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap saudara kandungnya sendiri (Habel).
Pertanyaan sederhana adalah, kenapa Ia membenci adiknya ?? Ya karena hidup adiknya diliputi dengan perbuatan kasih. Kasihnya yang besar terhadap sang pencipta sehingga persembahan yang dipersembahkan kepada TuhanNya adalah persembahan yang terbaik.
Disini kita melihat bahwa;  kebencian melahirkan kejahatan, kejahatan melahirkan kekerasan, kekerasan berwujud dalam bentuk pembantaian dan pembunuhan,…..sadis.
Kalau kebencian itu melahirkan perbuatan kejahatan dan kekerasan maka pantaskah kita memelihara kebencian dalam hidup kita, dalam rumah tangga kita, dalam jemaat dan masyarakat kita ??? saya kira tidak !!!
Kebencian  harus dilumpuhkan. Coba kita bayangkan kalau kebencian terus mewarnai seluruh kehidupan umat manusia dari generasi yang satu ke generasi, apakah akan ada kedamaian ???? saya kira tidak. Karena itu kebencian harus dihentikan, kebencian harus dilumpuhkan. Kita punya alasan yang sangat kuat untuk menghentikan kebencian itu.
  Marthen Luther King seorang pejuang HAM yang anti kekerasan misalnya;  mengetengahkan bahwa ada dua alasan mendasar yang mendorong orang untuk berhenti membenci yaitu
Pertama : Membalas kebencian dengan kebencian akan melipatgandakan kebencian. Ibarat menambah kelamnya malam yang telah hitam tanpa bintang. Gelap tidak mungkin mengusir gelap. Hanya terang yang mampu mengusir gelap. Maksudnya adalah benci tak dapat mengusir benci, hanya kasih yang mampu mengusir benci.
Kedua : Benci mesti dihentikan karena kebencian merusak jiwa dan kepribadian manusia.  Mari  kita perhatikan ketika seorang anak kecil menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ayahnya atau ibunya, kakaknya atau adiknya dipotong, dicincang dihadapannya, maka pasti jiwanya tidak akan tentram. Nilai-nilai kebencian dan dendam perlahan-lahan mulai merusak jiwanya. Dan ia akan melampiaskan dendamnya itu ketika ia telah sanggup melakukannya.
Sementara orang yang melakukan tindakan kekerasan itupun, kepribadiannya juga akan rusak. Artinya tidak ada lagi nilai-nilai kelemah lembutan dalam dirinya. Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya, selalu saja diselesaikan dengan tindakan kekerasan dan bukan dengan jalan damai. Karena itu pantaslah kalau dikatakan bahwa seorang yang membenci saudaranya adalah seorang pembunuh.
Jadi ketika diri kita dirasuki dengan rasa benci, pada saat itu kita sudah dikategorikan sebagai pembunuh, walaupun tangan kita belum memegang parang atau apa saja untuk membunuh.
Dari gambaran seperti itu, marilah kita melakukan recek lagi terhadap kehidupan kasih kita, apakah kita ini adalah orang-orang yang suka memerangi kebencian dalam diri kita atau keluarga kita, ataukah kita yang justru jadi provokator untuk mendorong orang lain mempraktekan sikap benci itu ??? 
Realita hidup kita menjelaskan bahwa ternyata banyak diantara kita yang berlaku pura-pura mengasihi anggota keluarga kita (entah suami, istri, anak-anak, adik-kakak dan orang tua), pada hal sebenarnya kita sangat membenci mereka.
Didepan umum kita pura-pura mengasihi suami atau istri kita, dengan berjalan bergandengan tangan mesra, tetapi di dalam rumah, kita saling mencaci maki, saling memukul dan melempar sampai babak belur.
Mungkin di dalam gereja seperti ini kita duduk berdekatan, bernyanyi memuji Tuhan dan mendengar sabdaNya, tetapi di dalam hati ada rasa benci yang membara, sehingga tidak pernah bertegur sapa apalagi tersenyum satu dengan yang lain.
Disinilah ibadah kita kepada Allah terjebak dalam ibadah pura-pura, dan kita menjadi orang-orang yang munafik. Saya kira kita masih ingat pernyataan Yesus bahwa sebelum anda memberikan persembahanmu di mezbah persembahan pergilah dahulu berdamai dengan saudaramu (Matius 5:24).

Cek up  ketiga yang patut kita lakukan melalui sikap hidup berbagi. Dalam ayat 17 disebutkan bahwa ; “barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya, Bagaimana kasih Allah ada dalam dirinya ??? 
Pada bagian ini penulis hendak menjelaskan bahwa harta duniawi adalah pemberian Tuhan yang dianugerahkan bagi setiap manusia. Dan karena itu maka tidak pantas kalau harta duniawi itu hanya dimanfaatkan dan digunakan untuk dirinya sendiri. Coba banyangkan kalau Tuhan tidak menganugerahkan harta duniawi itu kepada si Kaya, apakah ia akan memilikinya. Saya kira tidak !
Karena itu sangat pantas kalau harta duniawi itu juga digunakan dalam hubungan dengan orang lain. Inilah yang saya maksudkan dengan sikap hidup berbagi. Sikap hidup berbagai adalah cerminan dari kasih yang sejati.
Bukankah Yesus telah mencontohkan diriNya untuk menjelaskan tentang dasar hidup berbagi itu ??? Hidup berbagi itu diwujudkan dengan menyerahkan nyawa. Bukan Cuma harta yang dibagikan, tetapi nyawaNya untuk kehidupan banyak orang. Bisakah kita menyerahkan nyawa kita untuk keselamatan orang lain ???? saya kira sulit. Karena itu penulis menegaskan baiklah kita menyerahkan harta duniawi kita digunakan bersama dengan orang lain, itu sudah bagus.
Kehidupan yang berbagi itu ditegaskan lagi oleh penulis di akhir bacaan kita, ketika ia mengatakan : “ “anak-anaku marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan. Maksudnya adalah mengasihi orang lain bukan Cuma sebatas bicara, tetapi mesti berwujud dalam perbuatan konkrit. Kita tidak bisa bicara saya perduli terhadap penderitaannya, tetapi sepanjang itu kita tidak pernah memberikan sesuatu untuk meringankan penderitaannya. Ini sama dengan boong !!!.  
Pertanyaannya bagi kita adalah apakah kita sungguh-sungguh telah membantu meringankan beban saudara saya yang sakit, yang menderita, yang miskin. Ataukah kita begitu sulit untuk memberikan sesuatu demi meringankan beban derita orang lain, dan orang lain itu saudara kita sendiri ??? Silahkan renungkan !!!

Dari instrument cek up yang dihadapkan penulis surat Yohanes ini, baiklah masing-masing orang dapat memberikan jawabannya sendiri-sendiri. Tapi yang pasti kalau kita masih ada benci dalam diri, masih hidup untuk  diri sendiri dan tidak mau berbagi, masih mempertimbangkan untung rugi dalam perbuatan kasih, itu pertanda bahwa kita masih berpenyakitan kasih. Berusahalah untuk sembuh dari penyakit ini, amin.

Oleh : Pdt. Jan. Z. Matatula, S.Th. (Sekretaris Klasis GPM P.P.Aru)

(Disampaikan dalam kebaktian Minggu di Gereja Lahay Roy – Jemaat GPM Dobo, Klasis P.P.Aru. 
Tanggal 09 Nopember 2003.)