HIDUP UNTUK BERSAKSI

HIDUP UNTUK BERSAKSI
Ronella Waitibu

Minggu, 23 September 2018

Pelipatgandaan Talenta Dalam Tanggung Jawab Melayani

          Khotba Minggu, 23 September 2018
Teks : Matius 25 ; 14 – 30.

TEMA    :    Pelipatgandaan talenta dalam tanggung jawab melayani.

Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus !!!
Beta ingin menyapa bapa dan Ibu serta saudarai-saudari sekalian, syaloom. Beta percaya kita semua berada dalam keadaan baek-baek saja, karena Tuhan memimpin dan menolong kita melewati hari-hari hidup yang penuh dengan dinamika. Itu sebabnya kita patut bersyukur kepadaNya yang telah memberi kita hidup sampai hari ini bahkan diberi kesempatan untuk beribadah.
Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus !!!
Beta ingin mengawali khotba ini dengan menghadapkan Tema yang ditetapkan LPJ GPM untuk memandu perjalanan hidup kita disepanjang minggu ini yaitu ;  PELIPATGANDAAN TALENTA DALAM TANGGUNG JAWAB MELAYANI.
Kalau kita merenungkan tema ini sejenak, maka pertanyaan kritis kita adalah ;
Apakah itu talenta ???? apakah talenta itu sama dengan bakat bernyanyi, menari, berolah raga dstnya. Karena itu pada beberapa saluran TV kita menonton tayangan program pencari bakat seperti ;  Indonesia Idiol, (RCTI)  Bintang Pantura (Indosiar),  KDI Start (MNCTV), sampai dengan America’s got talent misalnya.  Siapa saja yang akan memperoleh talenta itu ??? Apakah anak kecil, orang dewasa, orang tua dstnya.
Apa syarat yang harus dipenuhi setiap orang untuk mendapatkan talenta itu.  Mengapa talenta itu mesti dilipatgandakan dan untuk apa talenta itu digunakan dan seterusnya. Apa hubungan pelipatgandaan talenta dalam hubungan dengan tanggung jawab melayani ??  Sekali lagi ini pertanyaan-pertanyaan penting untuk menolong kita memahami tema mingguan kita itu ; Pelipatgandaan talenta dalam tanggung jawab melayani. Karena itu beta mengajak kita memahami tema ini melalui teks bacaan kita tadi Matius 25 : 14 – 30.

Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus !!!
Teks bacaan ini, yang oleh  LAI diberi judul Perumpamaan tentang talenta  merupakan bagian dari kesatuan  khotba Yesus tentang Akhir Zaman yang ditulis penginjil Matius dalam pasal 24 dan 25. Khotba yang disampaikan Yesus dalam bentuk perumpamaan itu sebetulnya bertujuan untuk mengajarkan para pendengarnya, supaya mereka dapat mempersiapkan diri dalam menyambut kedatangan Kerajaan sorga itu (bersifat eskatologis). Dalam kesadaran bahwa walaupun kehadiran Yesus telah menegaskan tentang hadirnya Kerajaan Sorga itu, yang terekspresi melalui setiap ucapan dan perbuatan Yesus (aspek kekinian), tetapi Kerajaan sorga itu akan paripurna pada saat Yesus datang untuk kedua kali yang kita kenal dengan Parusia. (aspek keakanan).
Dan kalau kalau kita membaca teks ini, beta hendak menyampaikan 3 catatan reflektif yang dapat kita renungkan dari teks ini ;

Pertama ; Bahwa Tuhan memberikan setiap orang paling kurang satu talenta.

Yesus mengawali perumpamaan ini dengan menjelaskan bahwa Kerajaan Sorga itu sama seperti seorang tuan  yang hendak bepergian ke luar negeri atau berangkat ke luar negeri kemudian memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka (ayat 14).    Yesus tidak menjelaskan berapa lama tuan itu akan bepergian dan lokasi pasti dimana tuannya itu tujui.  Yang pasti adalah selama kepergiannya, dalam waktu yang tidak ditentukan itu, sang tuan mempercayakan hartanya kepada hamba-hambanya. 
Mempercayakan yang dimaksudkan  disini tidak berarti hamba-hamba itu menjadi pemilik harta kekayaannya, tetapi mereka hanya di beri tanggung jawab  untuk menjaga, memelihara dan mengelola hartanya.
Mempercayakan juga mengandung makna bahwa orang yang diberi kepercayaan itu dapat dipercaya. Mengapa ??? karena Harta itu gambaran dari sesuatu yang berharga dan bernilai, kalau harta itu diberikan kepada orang yang tak bisa dipercaya maka harta itu akan hilang dan tak lagi bernilai.  Itu berarti para hamba yang mendapat talenta dari tuannya adalah hamba yang dipercaya tuannya.
Kemudian disebutkan bahwa tuan itu memberikan kepada seorang hamba lima telenta, yang seorang lagi dua talenta dan seorang lain lagi satu talenta, masing-masing menurut kesanggupannya. (ayat 15). Jadi semua hamba mendapat talenta tetapi dalam jumlah yang berbeda-beda.
Apakah yang dimaksudkan dengan talenta itu. Kalau kita merujuk kepada Alkitab Bahasa Yunani Koine, kata yang digunakan untuk talenta yaitu talanta yang merujuk pada akar kata talanton. Kata talanton dalam bahasa Yunani mempunyai arti ; neraca, timbangan atau mata uang. Dalam tradisi Yahudi talanton atau talenta dalam bahasa Indonesia merujuk pada berat atau bobot dari 300 syikal mata uang Yahudi. 
Nah, Talenta dalam teks sebetulnya  menunjuk pada satuan mata uang sama seperti dengan mata uang mina yang disebutkan dalam perempuan tentang uang mina dalam Lukas 19 ; 11-27. 
            Kalau dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK), menerjemahkan 1 talenta sama dengan seribu uang emas. Jadi 5 talenta sama dengan lima ribu uang emas dan 2 talenta sama dengan dua ribu uang emas. (sebagai catatan, pada zaman itu 1 talenta bernilai lebih dari upah kerja seorang buruh selama 15 tahun).   
            Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Talenta yang diterjemahkan dari kata Yunani ”talanta” itu diartikan sebagai ; pembawaan sejak lahir, dan bakat, yang dianugerahkan Allah untuk memberi kekuatan dan petunjuk.
Jadi  pengertian talenta disini telah diperluas tidak saja berhubungan dengan nilai mata uang tetapi berhubungan dengan bakat yang dibawa sejak lahir. Bahkan kata talenta itu kemudian dihubungkan lagi dengan segala kemampuan, waktu, sumber daya dan kesempatan. 
            Yang menarik untuk diperhatikan selanjutnya adalah frasa ”masing-masing menurut kesanggupannya”. Ungkapan ini tentu berkaitan dengan kemampuan hamba-hambanya dalam mengelola talenta  itu.
Tentu sang pemilik itu  mengetahui dengan pasti kesanggupan setiap hambanya. Ia tidak asal memberi, tetapi memberi tepat pada sasaran. Realitas ini menunjuk pula adanya suatu relasi yang intim antara sang tuan dan hamba-hambanya, sebab hanya melalui hubungan itu sang tuan memahami dan mengenal dengan sungguh keberadaan hamba-hambanya.  Disini pola relasi yang tercipta antara tuan dan hamba adalah adalah  pola relasi fungsional dan bukan struktural.

Apa yang kita belajar dari sini ;
a.    Bahwa talenta itu adalah pemberian Tuhan.  Talenta itu adalah anugerah Tuhan.  Dan Tuhan secara adil memberikan talenta kepada setiap orang percaya, sesuai kehendakNya. Semua orang mendapat kebagian,  paling kecil 1 talenta. Tidak ada yang tidak mendapat  kebagian talenta. Artinya bahwa setiap orang yang diberi talenta itu menunjukan bahwa Tuhan mempercayainya, sehingga ia diberi talenta itu. Kalau Tuhan tak mempercayainya maka, pasti Tuhan tidak akan memberikan talenta kepadanya. Dan ketika kita semua diberi talenta, artinya Tuhan mempercayai kita semua sebagai hamba-hambaNya.
Pada sisi yang lain, Talenta yang diberikan Tuhan  itu,  berwujud dalam bentuk bakat, harta dan kekayaan, kemampuan, jabatan, waktu dan juga kesempatan untuk melayani Tuhan.
b.   Bahwa besar atau kecilnya talenta itu sangat tergantung dari penilaian Tuhan terhadap keberadaan setiap orang. Tuhan memberikannya sesuai dengan kehendak bebasnya.  Karena itu  baiklah  setiap orang menerima talentanya dengan bersyukur dan tidak harus  membanding-bandingkannya dengan milik orang lain, supaya tidak menimbulkan perilaku iri hati, dengki dan saling  memusuhi satu dengan lain, karena perbedaan talenta yang dimilikinya.  Pertanyaannya adalah apakah kita telah mengenal dengan baik talenta kita masing-masing ??? Jangan-jangan kita justru tidak mengenal dan menyadari apa talenta yang Tuhan anugerahkan kepada kita.  
c.    Bahwa Kepelbagaian talenta dalam kehidupan jemaat sebetulnya menjadi kekuatan yang luar biasa untuk membangun jemaat kita, bukan sebaliknya menghancurkan jemaat dan persekutuan hidup bersama.


Kedua ; Talenta itu harus dilipatgandakan sebagai bentuk pertanggung jawaban atas kepercayaan yang diberikan.

Yesus kemudian melanjutkan ceritera itu dengan menjelaskan sikap dari ke 3 hamba yang menerima talenta itu. Hamba yang menerima lima talenta kemudian pergi menjalankan uang itu dan mendapat laba lima talenta. (ayat 25). Demikian pula hamba yang mendapat dua talenta melakukan hal yang sama dan memperoleh laba dua talenta. (ayat 26).
            Berbeda dengan hamba yang menerima lima talenta dan dua talenta itu, maka hamba yang menerima satu talenta justru pergi menggali lobang, lalu menyembunyikan uang tuannya. (ayat 27).
Disini kita menemukan adanya dua tipe perilaku hamba yang berbeda dalam merespons kepercayaan tuannya itu.
Tipe Pertama,  yang diwakili hamba yang mendapat 5 dan 2 talenta adalah mendengar dan melakukan apa yang diperintahkan tuannya tanpa mempersoalkan  untung atau rugi dari pekerjaan itu.  Yang penting bagi mereka adalah bekerja untuk melipatgandakan talenta yang diterima, sebagai respons dari kepercayaan tuannya. Jadi kepercayaan itu, dihubungkan dengan nilai-nilai kesetiaan,  kerja keras, dan pengorbanan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Karena itu ketika tuannya meminta pertanggung jawaban hamba tipe pertama ini, dengan tegas dikatakan ; ”baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia”. (bd. Ayat 22a dan 23a).
Ungkapan ini mengisyaratkan  bahwa sang hamba telah menyatakan eksistensi dirinya sebagai hamba yang setia dan dapat dipercaya. Pada perspektif ini, bukan soal hasil yang diperoleh menjadi utama tetapi kesetiaan dalam proses melipatgandakan talenta itu yang utama.  Sebab kalau hasil menjadi utama  maka mungkin sang tuan akan berkata, hai hambaku yang baik dan berhasil.
Tipe kedua, yang diwakili oleh hamba yang mendapat 1 talenta adalah mendengar  tetapi tidak melakukan apa yang diperintahkannya, dengan mengajukan pertimbangan untung dan rugi. Pertimbangannya adalah apa untung bagi dirinya bila ia melipatgandakan talenta itu, dan apa ruginya bagi dirinya bila ia tidak melipatgandakan talenta. Jadi, aspek yang mendapat penekanan utama disini adalah kepentingan diri.  Jadi orientasi  kepentingan diri jauh lebih kuat, dari pada  melakukan tanggung jawab sesuai kepercayaan yang diberikan tuannya.   Dengan kata lain tanggung jawab itu dilakukan sepanjang menguntungkan dirinya, tetapi tidak akan dilakukan bila merugikan dirinya.
Karena itu tidak heran ketika ia mempertanggung jawabkan pekerjaannya kepada tuannya, sang tuan kemudian berkata ; ” hai kamu, hamba yang jahat dan malas”. (ayat 26). Jahat dan malas, menunjuk pada ketidaksediaan dan ketidaksetiaan  untuk melakukan apa yang dipercayakan padanya. Ia berkomitmen, tetapi kemudian ia menyangkal komitmennya sendiri.
Apa yang kita belajar dari bagian ini ???
a.    Bahwa setiap orang yang telah menerima talenta itu, apakah satu,  tiga atau lima atau sepuluh harus memperlabakan atau melipatgandakan talenta itu, supaya memperoleh hasil semakin banyak atau lebih baik.
Orang yang tidak bersedia mengembangkan talentanya sama dengan ia menenggelamkan masa depan hidupnya sendiri dan menolak anugerah Tuhan itu.
Dan bahwa untuk memperlabakan talenta itu, Tuhan mengajarkan kita untuk mengedepankan nilai-nilai kesetiaan, kerja keras dan  siap berkorban.
Artinya tidak ada orang yang berhasil, tidak ada orang yang sukses secara instan, tetapi selalu saja membutuhkan kerja keras, dalam menekuni pekerjaannya dan siap berkorban.
b.   Kalau kita kaitkan memperlabakan talenta itu dalam perspektif pelayanan gereja, maka setiap orang yang dipanggil untuk melayani Tuhan dalam berbagai status pelayanan yang disandangnya, apakah pelayan khusus atau badan-badan pembantu pelayanan, serta warga gereja dengan profesinya masing-masing ditantang untuk melakukan tugasnya dengan bertanggung jawab, sambil mengedepankan nilai-nilai kerja keras dalam pelayanan, bahkan siap menantang resiko dalam pelayanan serta siap berkorban. Kalau kita mau senang saja, kalau kita tak mau ambil resiko, kalau kita tak mau berkorban tidak mungkin tanggung jawab pelayanan dapat kita lakukan dengan baik, maka kita sementara menyangkali talenta yang Tuhan anugerahkan kepada kita.

Ketiga ; Pelipatgandaan talenta sama dengan pelipatgandaan tanggung jawab.

            Kemudian dijelaskan bahwa ketika hamba yang mendapat laba lima talenta dan hamba yang mendapat laba dua talenta mempertanggung jawabkan hasil pekerjaannya, maka sang tuan kemudian berkata ; ”...engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar...” (bd ayat 21, 22).
Pernyataan ini menegaskan tentang  hukum sebab akibat. Bahwa sebab engkau telah setia dalam perkara-perkara kecil (hal-hal kecil), maka akibatnya adalah engkau berhak untuk mendapat tanggung jawab dalam perkara-perkara besar (hal-hal besar). Sebaliknya jika engkau tidak setia pada hal-hal kecil maka tidak mungkin tanggung jawab besar akan dipercayakan padamu.  
Jadi sebetulnya kepercayaan untuk memikul tanggung jawab yang besar, dimulai dari kesetiaan dan kesungguhan melakukan tanggung jawab yang kecil dan sederhana.
Bahkan yang menyedihkan adalah orang yang tidak setia melipatgandakan talentanya, akan kehilangan talentanya. Jelasnya disebutkan ; ”sebab itu ambillah talenta itu dari padanya...” (ayat 28a). Sementara orang yang setia melipatgandakan talentanya akan mendapat lebih banyak talenta lagi.  Tegasnya dikatakan : ”...setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan...” (ayat 29a).
            Disini sang hamba yang tidak setia itu,  tidak saja kehilangan kesempatan untuk menggandakan talentanya, tetapi juga kehilangan talentanya sama sekali. Ia tidak lebih dari orang buangan yang dibuang karena tak berguna dan akan mengalami penderitaan yang tak ada taranya sebagai hukumannya (ayat 30).

Apa yang kita belajar dari bagian ini ;
a.    Bahwa setiap orang  yang diberi talenta oleh Tuhan itu, pada waktunya akan mempertanggung jawabkan talenta itu pada sang pemberi talenta. Dan dari hasil penilaian itu, seseorang akan mendapat reward atau ia akan mendapat punishment, dan dibuang begitu saja. Bila ia setia melipatgandakan talenta itu, tentu  dengan cara-cara yang baik, dengan cara-cara yang terhormat pasti kepadanya akan diberikan reward dengan menerima tanggung jawab yang lebih besar.
b.   Pada sisi yang lain, jangan pernah kita mengharapkan diberikan kewenangan untuk melakukan tugas-tugas yang besar dan hebat, kalau kita sendiri tidak setia melakukan hal-hal yang kecil. Bahkan untuk mendapatkan hal-hal yang besar, mesti dimulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Karena itu nilai kesetiaan menjadi penting. Setia terhadap panggilan pelayanan yang telah dipercayakan kepada kita masing-masing.
c.    Besok wadah pelayanan laki-laki GPM akan memperingati hari ulang tahun yang ke 32, karena itu patut kita bersyukur, karena Tuhan melalui gerejaNya masih menggunakan wadah pelayanan laki-laki GPM untuk melayani pekerjaanNya.
Menyambut sukacita itu, kita diingatkan bahwa sebagai salah satu kategori pembinaan umat GPM disamping Anak Remaja dan katekisasi, Pemuda, Perempuan, Warga Gereja Senior dan Warga Gereja Profesi, maka wadah laki-laki ini menjadi penting dan strategis dalam proses pembinaan umat GPM. Karena itu firman Tuhan mengajak setiap laki-laki GPM (pengurus dan anggota) untuk menyatukan keberagaman talenta yang dimilikinya dan menggunakannya secara proposional melalui wadah pelayanan laki-laki GPM bagi kemulian Tuhan. Teruslah tingkatkan kapasitasmu sebagai laki-laki Gereja Protestan Maluku. Amin.

Jan Z. Matatula.






Kamis, 26 Juli 2018

SPIRIT WATUI


SPIRIT WATUI.

Beta sengaja menggunakan frase "Spirit Watui" untuk memberi makna bagi kegiatan bina spiritualitas para pendeta, MPK dan Pegawai Kantor Klasis GPM Kairatu yang berlangsung tanggal 15 - 17 Mei 2018 di Jemaat GPM Watui. Para peserta kegiatan berkumpul di pangkalan ojek Tala tepat pukul 10.00.wit, setelah melakukan perjalanan dari jemaatnya masing-masing.
Kemudian dengan menggunakan jasa ojek, ada yang membawa motor sendiri, disamping mobil perusahaan CV Titian Hijrah dan mobil extrada milik Pdt. Ny Yoti Patty, peserta melanjutkan perjalanan ke Ahiolo sebagai pangkalan terakhir sebelum melanjutkan perjalanan ke Watui. Sayangnya mobil yang ditumpangi peserta tak bisa melanjutkan perjalanan karena keempat bannya terbenam di tanah berlumpur, pada ruas jalan di sekitar "air kaki", akibat jalan yang dibuka CV Titian Hijrah sebagai kompensasi beroperasinya perusahan tersebut di daerah Ahiolo belum disirtu, sehingga sebagian peserta harus melanjutkan perjalanan ke Ahiolo dengan berjalan kaki.
Suasana hospitaliti mulai dirasakan peserta saat tiba di Jemaat GPM Ahiolo.  Dengan senyumnya yang khas Pdt. Eka Wattimuri (Ketua Majelis Jemaat Ahiolo) bersama ibu2 Jemaat GPM Ahiolo, menyambut peserta sambil menyiapkan hidangan makan siang untuk disantap peserta. Sementara anggota jemaat laki-laki Ahiolo bersama laki-laki Watui, dengan cekatan membenahi barang2 bawaan peserta untuk dipanggul dengan "hahalang" menuju Watui. Mereka melakukannya dengan sukacita. 
Realitas ini menjadi spirit persaudaraan yang hidup dalam komunitas masyarakat di pegunungan, yang tidak saja ramah menerima tamu tetapi juga siap berbagi hidup, yang dapat dipelajari peserta, sebagai ekspresi Gereja Orang Basudara. Setelah berjalan kaki kurang lebih 6 kilo, melintasi hutan dan menerjang arus air kali Wailau dan Tala yang cukup deras, peserta tiba di jemaat GPM Watui dan disambut dengan penuh sukacita oleh warga jemaat Watui, Ketua Majelis Jemaat Pdt.Ny. Ulen Kaipaty dan Pejabat Pemerintah Negeri, Bpk Jois Lesiela, sambil diiringi lagu selamat datang oleh Paduan Suara Perempuan Jemaat Watui.
Selanjutnya peserta menuju gedung gereja Sion untuk berdoa syukur yang dibawakan Wakil Ketua Majelis Jemaat Watui sebelum minum teh sore di sabua makan dan waktu menunjukan pukul 17.00.wit. Dalam suasana persaudaraan yang hangat, peserta yang terdiri dari para pendeta, Majelis Pekerja Klasis dan pegawai kantor Klasis yang berjumlah 49 orang itu dibagi tempat tinggalnya.
Peserta perempuan tinggal di rumah jemaat, sementara sebagian peserta laki-laki ditempatkan pada balai desa, yang untuk sementara disulap menjadi walang tinggal peserta, mengingat rumah warga jemaat hanya 12 buah tak dapat menampung peserta sebanyak itu.  Tidur beralas tikar di atas “bale-bale” membuat para pendeta mengenang kembali suasana hidup di desa sumber mahaya LSPB Kamal saat studi pedesaan disana. Mereka menikmatinya dengan penuh sukacita, ditemani petikan gitar terdengar alunan suara merdu melantunkan pujian kepada sang Ilahi, mengiringi malam yang semakin larut. Jiwapun tenang….damai….dalam tidur lelap. Suasana seperti ini yang sering dirindukan banyak pelayan di tengah kesibukan pelayanannya. khususnya di wilayah pesisir, pinggiran kota dan perkotaan. Inilah salah satu alasan mengapa Watui dipilih sebagai tempat kegiatan ini, disamping tantangan alam yang menguji kekuatan fisik dan psikhis.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan spirit sense of calling dan sense of belonging para pelayan dalam melakukan tugas pengutusannya baik di daerah pesisir maupun di daerah pegunungan. Dan salah satu caranya adalah dengan meningkatkan spiritualitasnya sebagai pelayan. Tentu spiritualitas yang berpusat pada Karya Yesus Kristus dan spirit itu terefleksi dalam gaya hidup (life style) para pelayan. Gaya hidup yang perduli, penuh kasih, siap berkorban, tahan uji dan sabar menghadapi tantangan.
Materi yang disampaikan antara lain ; Spiritualitas pelayan khusus dan pemimpin gereja yang diantarkan oleh Ketua Klasis, Teologi Lokal (Bentuk praksis dari spiritualitas pelayan GPM yang berteologi dalam konteks pelayanan GPM), yang diantarkan oleh Theo Matatula, S.Si.Teol, M.Si, Modul Pembinaan dengan Topik Tuhan Mengutus Kita yang diantarkan oleh Pdt.O. Tapilouw, S.Si dan Pdt. M. Mamulaty, S.Si dan diakhiri dengan puji-pujian dan jamuan kasih yang dilayani oleh Sekretaris Klasis.
Disamping itu sesi pemberian makanan tambahan bagi anak-anak Watui dan olahraga bola volly memberi makna tersendiri bagi kegiatan ini. Watui juga mengajarkan tentang “spirit rakit”. Bahwa membuat rakit membutuhkan beberapa orang, memilih bambu yang baik dan menyusunnya dengan rapih, kemudian diikat dengan kuat, sehingga menjadi sarana transportasi air kali yang handal dan mengasyikan.
Maka bila kita ingin menjadi alat yang berguna bagi Tuhan, rawatlah persekutuan dan persatuan hidup sebagai para pelayan dan siap selalu untuk berkorban bagi umat yang kita layani.  Sehingga kita bisa berkata ; Hidup ini  adalah kesempatan. Hidup ini untuk melayani Tuhan. Dan bila saatnya nanti ku tak berdaya lagi hidup ini sudah jadi berkat.
(JZM).






Jumat, 11 Oktober 2013

JADILAH TELADAN BAGI ORANG LAIN

TEKS   : Matius 23 ;1-12.


                                                                                           Syaloom !!!
Seminggu terakhir ini masyarakat Indonesia dikejutkan dengan peristiwa penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Aqib Moktar, berkenaan dengan dugaan kasus suap uang miliaran rupiah dalam sengketa pemilihan kepala daerah Lebak Banten. Terlepas dari apakah dia bersalah atau tidak, tetapi masyarakat Indonesia terlanjur dikecewakan melalui peristiwa ini.
Oleh karena MK Sebagai Lembaga Negara yang diharapkan dapat menghadirkan keadilan dan kepastian hukum  justru pemimpinnya melakukan tindakan ketidakadilan. Ini salah satu dari perlakukan para pemimpin bangsa yang korup.
Dan tentunya ada begitu banyak lagi para pemimpin bangsa yang terlibat dalam perlakukan-perlakukan yang tidak adil. Mulai dari Mentri, Bupati, Wakil Bupati, Gubernur, Wakil Gubernur, Pejabat  Pemerintah lainnya dipusat sampai di desa-desa terlibat dalam perlakukan yang tidak adil. 
Tentunya  didalam kebaktian  ini, saya tidak bermaksud menghadapkan tentang perilaku ketidakadilan, perilaku korupsi, perilaku manipulasi,  perilaku nepotisme  yang dipertontonkan para pemimpin bangsa dan masyarakat sampai saat ini.
Tetapi yang saya ingin hadapkan adalah bagaimana profil seorang pemimpin sebagai teladan.  Bagaimana seorang Kristen mampu menghadirkan dirinya sebagai teladan kebaikan bagi masyarakat yang dipimpinnnya.
Hal ini penting dihadapkan, oleh karena akhir-akhir ini terjadi krisis keteladan dikalangan para pemimpin, dimana sulit sekali  kita menemukan seorang pemimpin yang dapat dijadikan teladan atau panutan. (Teladan artinya sesuatu yang patut ditiru atau dicontohi apakah perbuatannya, kelakukannya, sifatnya dll ).
Nah,….. di tengah krisis keteladanan para pemimpin mari kita belajar bagaimana menjadi pemimpin yang menghadirkan nilai-nilai keteladanan, melalui  teks bacaan kita tadi ; Matius 23 ; 1-12 dalam sorotan Tema Mingguan yang ditetapkan Lembaga Pembinaan Jemaat GPM yakni “KETELADANAN”.

Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus !!!
Kalau  kita membaca teks Matius 23 ; 1-12 dengan baik, maka paling kurang ada 3 Nilai  yang terkait dengan keteladanan yang patut kita renungkan sebagai para pemimpin (masyarakat, gereja, dan keluarga).
Pertama ; Pemimpin yang diteladani adalah pemimpin yang mampu menyelaraskan tentang apa yang dibicarakan dengan apa yang dilakukannya.
Dengan kata lain, apa yang dibicarakan mesti sama dengan apa yang dilakukannya.
Dalam teks kita, Yesus mengecam orang-orang Farisi dan Ahli-Ahli Taurat, yang pada masa itu dianggap sebagai pemimpin agama dan masyarakat Yahudi. 
Orang-orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat ini adalah orang-orang yang mendapat legitimasi atau diberi kuasa untuk menafsirkan dan mengajarkan hukum-hukum Musa. Ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan bahwa mereka mendapat legitimasi menafsirkan dan mengajarkan Hukum-hukum Musa dalam teks kita adalah ; “menduduki kursi Musa” (bd.ayat 2).
Tentunya apa yang diajarkan mereka adalah sesuatu yang benar dan patut didengarkan dan dilaksanakan.  Karena itu dengan tegas Yesus katakan;  “lakukan segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu” ( bd.ayat 3a).
Pada sisi yang lain, Yesus menyebutkan tentang “orang banyak”,…. dalam hal ini  menunjuk  kepada masyarakat biasa, rakyat jelata, orang-orang yang hina dan miskin yang ada disekitar mereka (Ahli Taurat dan orang Farisi) yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang minim  tentang ajaran-ajaran atau hukum Musa. (bd. Ayat 1).
Jadi disatu pihak ada para pemimpin agama yang memiliki legitimasi mengajarkan Hukum-Hukum Musa dan karena  itu patut diteladani,  dan pada pihak  lain, ada orang-orang sederhana dan miskin yang harus meneladani  apa yang diajarkan dan dilakonkan oleh para pemimpin mereka.
Yang menarik adalah dalam posisi atau kedudukan mereka sebagai orang yang mengajarkan ajaran Musa, dan yang harus diteladani oleh orang banyak itu, justru dikecam oleh Yesus.
Yesus tidak mengecam orang banyak yang tidak memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum Musa, malah Yesus mengajak dan mendorong mereka untuk melakukan apa yang diajarkan oleh pemimpin-pemimpin agama itu.
 Mengapa ??? 
Karena bagi Yesus yang penting bukan soal memahami hukum-hukum Musa, tetapi bagaimana melakukan hukum-hukum Musa dengan konsisten dalam hidup mereka,  itu jauh lebih penting.  Ini yang tidak dipertontonkan oleh Ahli Taurat dan Orang Farisi.
Mereka mengajarkan tetapi tidak melakukannya.  Hal itu dipertegas oleh Yesus dalam ayat 3b ; “karena mereka mengajarkan tetapi tidak melakukan”.
Jadi……., Kecaman Yesus itu, bukan karena ajaran yang disampaikan orang-orang Farisi dan Ahli-Ahli Taurat itu salah.
Kecaman Yesus itu bukan karena Ahli-Ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu malas-malas dalam menyampaikan ajaran atau Hukum Musa. 
Kecaman Yesus itu bukan karena orang-orang Farisi dan Ahli Taurat itu takut menyampaikan kebenaran Ajaran dan Hukum Musa. Tidak !!!!
Tetapi kecaman Yesus itu justru karena orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu tidak konsisten melakukan apa yang diajarkan.
Mereka dengan keras memaksa orang melakukan hukum-hukum Musa, sementara mereka sendiri tidak melakukannya, bahkan terkesan menghindar. Lucu,….!!! Disini mereka menampilkan diri sebagai para pemimpin yang munafik. Disini mereka menampilkan diri sebagai orang-orang yang munafik (Hipokrits). Menyedihkan…………….!!!!

Saudara-saudari,…apa yang kita pelajari dari bagian ini.
Pertama ; Bahwa sama seperti Ahli-Ahli Taurat dan Orang-Orang Farisi yang mendapat Legitimasi untuk mengajarkan hukum Musa, maka setiap orang Kristen yang sudah diselamatkan oleh Allah juga mendapat Legitimasi untuk menyampaikan ajaran Yesus (Injil) bagi orang banyak. Tugas memberitakan Injil itu, terutama diberikan kepada para Pelayan Khusus, (Pendeta, Penginjil, Penatua, Diaken). Kemudian Pengurus Sektor, Koordinator Unit, Pengurus wadah-wadah Organisasi Gerejawi. Semuanya bertanggung jawab untuk secara konsisten dan konsekwen melakukan tugas Pemberitaan Injil dengan baik. 
Disini,… setiap orang dituntut untuk Tidak malas. (karena ada banyak perangkat pelayan yang malas). Setiap orang dituntut untuk tidak takut dalam mengajarkan ajaran Yesus. (Para pelayan juga penakut bila diperhadapkan dengan banyak persoalan yang mengancam eksitensi dirinya).
Disamping itu, mereka dituntut untuk mengajarkan ajaran yang benar. (Banyak pelayan juga yang terkontaminasi dengan ajaran-ajaran yang tidak sehat, baptis ulang misalnya dll).

Kedua ; Bahwa orang tidak berhenti pada fase/tahap mengajarkan atau memberitakan Injil  saja,…. Selesai !!!!.
Tetapi setiap orang dituntut untuk melakukan atau melaksanakan ajaran Yesus yang diajarkan kepada orang banyak dalam kehidupanya secara konsisten.
Jadi, ketika seorang pemimpin Kristen berbicara tentang cinta kasih, maka ia harus mewujudnyatakan cinta kasih itu dalam hidupnya setiap hari kepada orang lain. Kalau tidak maka ia tak bisa menjadi teladan.
Bagaimana seorang pelayan yang berbicara tentang perdamaian mempertontonkan hidup yang berdamai dengan orang lain. Kalau tidak ia tidak bisa disebut sebagai pelayan yang patut diteladani.
Bagaimana seorang pemimpin keluarga berbicara tentang  keadilan, dan itu diwujudkan dengan memberi perhatian yang adil kepada anak-anak. Kalau tidak dia tidak bisa disebut sebagai pemimpin keluarga yang bisa diteladani. Dan seterusnya.
Jadi kualitas keteladan dari seorang pemimpin justru diukur dari konsistensinya dalam melakukan apa yang diajarkannya atau diberitakannya.
Ini tentu menjadi tantangan yang tidak mudah bagi setiap orang yang dipanggil Tuhan untuk menyaksikan tentang kebenaran InjilNya.

Pertanyaannya adalah bagaimana  dengan kita, apakah kita juga kedapatan sebagai orang-orang yang taat melakukan apa yang diajarkan Yesus, sebagaimana yang kita ajarkan ???  Jawab sendiri !!

Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus !!!
Hal Kedua ; Pemimpin yang diteladani adalah pemimpin yang tidak mencari kehormatan diri, tetapi yang membangun persaudaraan setara.
Dalam teks kita (ayat 5 – 10), kita menemukan gambaran bahwa  Ahli-Ahli Taurat dan Orang-Orang Farisi itu  suka sekali mencari kehormatan diri, Mencari pujian bagi diri, melalui berbagai simbol-simbol keagamaan yang menunjuk pada  kesalehan hidup mereka.    
Jadi simbol-simbol keagamaan yang mereka pertontonkan tidak dengan motivasi  supaya orang-orang yang  diajarkan, terdorong  menjadi percaya kepada Allah dan menampilkan  sikap hidup yang saleh serta memuliakan Allah. 
Tetapi motivasi perbuatan keagamaan atau kesalehan mereka adalah  supaya mereka dihormati, dan dipuji orang banyak.  Karena itu dengan tegasnya Yesus katakan ; semua pekerjaan yang mereka lakukan supaya dilihat orang ( bd. ayat 5).
Hal itu dapat kita lihat dari beberapa pernyataan Yesus berikut  ;
-       Mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang.
-       Mereka suka duduk di tempat terhormat dalam Ibadah Perjamuan. (Tempat terhormat pada perjamuan adalah tempat duduk sebelah kanan tuan rumah. Tempat ini tidak saja menunjukan pada keistimewaan mereka, tetapi juga agar mereka mendapat pelayanan istimewa. Kalau di rumah Ibadah,  tempat terhormat itu berada disekitar mimbar,…sementara jemaat biasa duduk dilantai).
-       Mereka  suka menerima penghormatan di pasar-pasar atau tempat keramaian.
-       Mereka suka dipanggil Rabi, guru atau pemimpin.
Dari gambaran ini, maka sebetulnya yang dikejar  oleh Alih Taurat dan Orang Farisi dari perilaku kesalehan mereka adalah agar eksistensi atau keberadaan mereka sebagai pemimpin-pemimpin agama perlu dihormati dan dihargai.
Mereka tidak mempersoalkan apakah kehadiran mereka dapat menolong orang lain supaya dapat membangun kehidupan imannya dengan baik atau tidak,…itu tidak penting.
Jadi  yang penting adalah hidup mereka dan bukan orang banyak. Yang penting eksistensi sebagai Rabi tetap terjaga.
Yang penting eksistensi sebagai pemimpin tetap terjaga. Mereka mengabaikan tanggung jawab untuk menyelamatkan orang lain.

Saudara-saudara !!!
Terhadap situasi ini, maka Yesus mengecam mereka dengan menegaskan bahwa yang patut dihormati dan layak disembah adalah Allah, bukan manusia.  Bahkan Yesus menambahkan bahwa kamu semua adalah saudara, tidak pantas untuk mencari kehormatan diantara sesama saudara. (bd. ayat 8)
Karena itu, kalau ada yang patut dihormati dan disembah, itu adalah Mesias bukan mereka yang menyebut dirinya  guru dan pemimpin.
Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut ;
-    Jangan kamu disebut Rabi, karena hanya satu Rabimu.
-    Jangan kamu menyebut siapapun bapa di bumi, karena hanya satu Bapamu yang disorga.
-    Janganlah kamu disebut pemimpin, karena hanya satu pemimpinmu yaitu Mesias.
Jadi sekali lagi Yesus menegaskan tentang perubahan orientasi dari hormat kepada manusia diganti dengan hormat kepada Allah.

Pertanyaan kita adalah,..apakah Yesus mengabaikan fungsi-fungsi structural dalam kehidupan sosial ??? Apakah Yesus mengabaikan jabatan-jabatan dan kedudukan dalam kehidupan sosial ??? Saya kira tidak. Yesus tetap menghargai jabatan-jabatan dan kedudukan dalam kehidupan sosial maupun gereja.
Persoalannya adalah bagaimana orang menempatkan jabatan dan kedudukan dalam persfektif Persaudaraan setara, bukan untuk cari hormat dan pujian, serta untuk memuliakan Allah.
Apa maksudnya ?? Maksudnya adalah bahwa baik orang Farisi, Ahli Taurat dan Orang kebanyakan itu adalah saudara. Saudara yang setara – egaliter.  Dalam kesetaraan itu,  Tidak ada yang di atas dan tidak ada yang di bawah. Tidak ada yang jago dan tidak ada yang pecundang.  Tidak ada yang kuat dan tidak ada yang lemah.  Disini orang akan saling menghargai dan saling menghormati dalam tatanan persaudaraan.
Demikian pula,….. dalam perspektif persaudaraan setara itu, maka orang tidak akan berebutan untuk mendapatkan jabatan dan kedudukan dari saudaranya sendiri. Orang tidak main sogok sana sogok sini, untuk merebut  jabatan dan kedudukan bagi dirinya dari saudaranya sendiri. Orang tidak saling bakuhantam untuk dapatkan jabatan dan kedudukan bagi dirinya. Karena katong sama-sama saudara, bila anda punya kapasitas untuk jadi itu dan ini silahkan, tidak perlu dicegah atau dihancurkan.
Demikian pula kalau seseorang mendapatkan jabatan atau kedudukan penting, maka ia  tidak akan menganggap diri hebat dan jago dan menganggap orang lain rendah. Karena jabatan dan kedudukan itu akan digunakan untuk memuliakan Allah, dan menguntungkan persaudaraan setara itu.

Saudara-saudaraku,…!!!
Perlu diingatkan pula bahwa dalam persaudaraan setara, kita harus mengakui dan memberi ruang kepada hadirnya kepelbagaian. Bahwa ada orang yang memiliki kapasitas A dan Kapasitas B. Ada orang yang punya kemampuan ini dan kemampuan itu.
Ada orang yang memiliki jabatan dan kedudukan yang berbeda. Tetapi semuanya itu, entah kapasitas, kemampuan, jabatan dan kedudukan  mesti menjadi kekuatan untuk membangun persaudaraan setara dengan baik, agar persekutuan itu merasakan manfaatnya dan Tuhan dimuliakan. Itulah nilai keteladanan seorang pemimpin yang harus dihadapkan.

Apa yang bisa kita pelajari disini ;
1.      Bahwa setiap orang Kristen, termasuk para pelayan dan pemimpin Kristen  dalam melakukan tanggung jawab pelayanan dan kepemimpinannya  baik dalam jemaat, di tengah masyarakat maupun keluarga,  tidak dengan motivasi untuk mendapat pujian dan penghormatan diri.  Tetapi hendaknya dilakukan dalam persfektif Tuhan Allah dalam Kristus Yesus dimuliakan. 
Tapi dalam realitas kehidupan bergereja dan berjemaat dan bermasyarakat kita, ada begitu banyak orang yang melakukan tanggung jawab pelayanan dan kepemimpinannya dengan motivasi puji diri dan cari hormat for diri. 
Karena itu bila tugas yang dilakukan atau tanggung jawab yang dilakukan tidak dihargai, maka mereka akan marah-marah bahkan mengundurkan diri dari tanggung jawab pelayanan yang diberikan kepadanya.
Tetapi kalau ia melakukan tanggung jawabnya dalam perspektif Tuhan dimuliakan, maka kendati pekerjaannya, tidak dihargai orang ia akan tetap melayani saja.  Demikian juga kalau ia dapat tantangan, ia tidak akan lari meninggalkan tugasnya, karena ia ingin memuliakan Tuhan melalui tugas dan kerjanya.

2.      Sebagaimana Yesus menekankannya tentang pentingnya persaudaraan setara, maka sebagai orang-orang Kristen, kita dituntut untuk memperteguh komitmen kita untuk membangun kehidupan orang basudara. Kehidupan orang basudara akan menolong kita untuk tidak saling menciderai satu dengan yang lain, hanya karena kepentingan jabatan, kedudukan dan politik, tetapi sebaliknya akan saling menopang satu dengan yang lain, topangan yang saling menghidupkan.

Hal ketiga ; Pemimpin yang diteladani  adalah Pemimpin yang  menampilkan  sikap kerendahan hati.
Dalam teks kita, khususnya ayat 11 - 12, kita mendapatkan gambaran tentang perspektif baru yang Yesus sodorkan kepada orang-orang Farisi dan Ahli-Ahli Taurat serta pendengarNya.  Bagi Yesus bila mereka ingin menjadi pemimpin yang besar, tersohor, ternama…..maka kebesaran itu terletak pada sikap sebagai hamba atau pelayan yang melayani. Tegasnya dikatakan ; “Barangsiapa terbesar diantara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu”. (ayat 11).
Menarik,….Yesus mengakhiri kecamanNya itu dengan menyodorkan sebuah sikap keteladan yang patut dicontohi kalau ingin jadi pemimpin besar yaitulah sikap sebagai pelayan atau hamba.
Kata Pelayan, dalam kamus bahasa Indonesia artinya orang yang melayani, pembantu atau pesuruh.  Nilai yang muncul dari pengertian pelayan ini adalah kerendahan hati, sabar, tekun dan tidak sombong.
Itu berarti bagi Yesus setiap orang yang ingin menjadi besar, maka ia mau tidak mau suka tidak suka harus menampilkan sikap kerendahan hati, kesabaran, ketekunan dan tidak sombong atau tinggi hati.
Dengan kata lain, Yesus mau bilang bahwa kualitas kebesaran seseorang bukan terletak pada penghormatan yang diterima, bukan terletak pada tingginya jabatan dan kedudukan yang disandang, bukan terletak pada status sosial yang dimiliki, tetapi terletak pada sikap kerendahan hati, kesabaran, dan ketekunan yang ditampilkan dalam keseharian hidupnya.
Karena itu marilah kita menjadi orang Kristen, pemimpin Kristen, pemimpin keluarga yang menampilkan sikap sebagai pelayan. Apakah kita sudah menghadirkan diri sebagai pelayan ???? Semoga…..Amin.
Oleh
Pdt. Jan. Z. Matatula, S.Th
Ketua Klasis GPM Kairatu

(Disampaikan dalam Ibadah Minggu, tanggal 13 Oktober 2013 di Jemaat GPM Rumahkay)