HIDUP UNTUK BERSAKSI

HIDUP UNTUK BERSAKSI
Ronella Waitibu

Sabtu, 31 Agustus 2013

PERSEKUTUAN YANG SALING MEMBAHARUI


TEKS   : FILEMON 1 ; 6-12.

Syaloom !!!
Kita masih berada dalam suasana Paskah Kristus. Dan Paskah menjadi momentum pemulihan bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang saling membenci. Karena itu dalam sorotan tema ; “Persekutuan yang saling membaharui”, saya mengajak kita untuk merenungkan teks bacaan kita tadi Filemon 1 : 6-12.
 Teks kita ini adalah penggalan dari sepucuk surat yang dilayangkan Paulus kepada Filemon. Isi surat ini menggambarkan keinginan Paulus yang sangat besar agar Filemon dapat menerima Onesimus hambanya sebagaimana ia ada sekarang.
Pertanyaan kritis kita adalah apa sebetulnya yang terjadi antara Onesimus dan Filemon dan mengapa Paulus harus meminta Filemon untuk menerima Onesimus kembali ??? Mari kita cari jawabannya dalam teks bacaan kita ini.
Disebutkan dalam teks kita, bahwa Paulus berjumpa dengan Onesimus salah seorang hamba Filemon, yang melarikan diri dari rumah tuannya.
Filemon sendiri adalah seorang Kristen yang kaya di Kolose dan yang menjadi percaya kepada Kristus atas pemberitaan Injil yang dilakukan oleh Paulus dan karena itu ia mempunyai hubungan sangat akrab dengan Paulus.
Rupanya Onesimus telah melakukan suatu hal yang merugikan tuannya Filemon, Hal itu dijelaskan Paulus dalam ayat 18, katanya ; “ dan kalau dia sudah merugikan engkau atau berhutang padamu”. Jadi yang pasti ada perbuatan yang dilakukan oleh Onesimus yang akan mengantar dia untuk menerima hukuman berat dari tuannya.
Hal itu sesuai dengan budaya yang berlaku dalam masyarakat Yunani-Romawi, dimana bila seorang hamba/budak melakukan pelanggaran terhadap tuannya ia akan ditimpa hukuman berat.
Dan untuk menghindari hukuman itu Onesimus melarikan diri dari rumah tuannya. Dalam pelariannya itulah Onesimus  dipertemukan dengan Paulus oleh Epafras teman sekampungnya (Kol.4:12).
Selanjutnya disebutkan dalam teks kita bahwa ketika Paulus dipertemukan dengan Onesimus, ia sendiri sementara terkurung dipenjara Roma, akibat dari pemberitaan Injil yang dilakukannya.
Dalam perjumpaan dengan Paulus itulah, Paulus merobah seluruh hidup Onesimus sehingga ia mengalami pemulihan hidup. Ia mengalami pertobatan hidup. Dan menurut penilaian Paulus, Onesimus telah menjadi tenaga pemberitaan Injil yang hebat.  Hal itu disampaikan dengan ungkapan ;  “dulu memang ia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku” (ayat 11). Ini suatu pengakuan yang tulus dari Paulus.
Belajar dari bagian ini maka ada 3 hal yang patut kita renungkan.
Pertama ; bahwa Tugas pemberitaan Injil tidak pernah mengenal batas waktu dan ruang, bahkan usia.
Bahwa kendati Paulus sudah menjadi tua, kendati ia disiksa dalam penjara, semua tekanan dan penderitaan itu tidak sedikitpun melemahkan semangatnya untuk memberitakan tentang Yesus yang bangkit itu.      
Paulus tidak berdiam diri sebagai seorang hukuman dan menyesali situasi hidup yang dialaminya saat itu. Tetapi ia melakukan perbuatan-perbuatan yang hebat dalam penjara.  
Bukan Cuma ia menulis surat untuk memperkuat iman dan keyakinan orang-orang Kristen yang baru menjadi percaya kepada Kristus, yang pada waktu itu mendapat tekanan yang luar biasa dari orang-orang Yahudi dan Yunani.  Tetapi ia juga mempersiapkan orang-orang yang bersama-sama dengan dia untuk menjadi pemberita-pemberita Injil yang handal.
Kenyataan ini mesti mendorong kita yang hadir dalam kebaktian ini, bahkan setiap orang percaya kepada Kristus, untuk tidak pernah berhenti memberitakan Injil Kerajaan Allah, memberitakan tentang Yesus yang bangkit. Tegasnya, kita dipanggil untuk memberitakan Yesus yang bangkit itu, dimanapun kita berada. Di rumah, di tempat kerja, di tengah masyarakat dimana kita beraktivitas.
Pemberitaan Injil yang dimaksudkan tersebut,  tidak harus membuat semuanya orang menjadi penatua, atau diaken, atau koordinator unit, atau pimpinan wadah organisasi gerejawi. Tetapi ketika sebagai orang tua kita bangun pagi, doa bersama dengan keluarga  itu bentuk pemberitaan Injil. Ketika kita memperhatikan jam-jam belajar anak-anak kita, ketika kita mendorong mereka untuk belajar dengan baik, itu pekabaran injil.  
Ketika dengan penuh cinta kita mendampingin anak-anak remaja kita, para pemuda kita dalam proses pergaulan mereka, sehingga mereka tidak jatuh dalam berbagai perbuatan kejahatan, itu pemberitaan injil.  Ketika malam menjelang dan kita membaca Alkitab dan berdoa, itu pemberitaan Injil yang dilakukan.
Pada sebelah lain kita diingatkan bahwa Kita tidak saja dipanggil untuk memberitakan Injil dalam suasana tanpa tantangan. Tetapi kita juga dipanggil untuk memberitakan Injil di tengah-tengah tantangan hidup yang dihadapi.
Katakanlah apakah dalam kegembiraan dan kesuksesan maupun ketika kita berada dalam penderitaan, hendaknya semangat Pemberitaan Injil harus terus menyala-nyala.
Jang Cuma katong sanang manyanyi lagu “api injil”, sementara katong tidak punya semangat untuk mengobarkan api itu dalam hidup kita terutama dalam keluarga kita.

Kedua ; Bahwa setiap orang dipanggil untuk menerima orang lain apa adanya, dalam kelemahan dan kelebihan mereka.
Bahwa sebagaimana Paulus menerima Onesimus yang adalah seorang budak, seorang hamba yang melarikan diri dari tuannya, seorang hukuman dan merobah dia menjadi baik, menjadi berguna, maka kita juga punya tanggung jawab yang sama untuk menerima dan merangkul orang-orang yang karena kelemahan, yang kerena tekanan-tekanan hidup yang berat, tuntunan ekonomi yang berat, telah melakukan berbagai kesalahan, bahkan mungkin telah merugikan kita.
Tidak benar kalau kita hanya mau terima yang baek-baek saja, lalu yang tarabae katong buang bagitu saja. Tidak begitu,….
Bukankah tidak ada seorangpun diantara kita  yang baik dimata Tuhan ? Oleh karena kita semua adalah orang berdosa ???  Tetapi dalam kasihNya Tuhan menerima dan merangkul kita dan menjadikan kita status yang baru, sebagai orang-orang yang diselamatkan.  Sama halnya dengan Onesimus yang telah diterima oleh Paulus.
Karena itu tugas kita adalah merangkul setiap orang berdosa, mendampingi mereka, membuat mereka berubah dan dipulihkan agar mereka juga dapat menjadi berkat bagi orang lain.


Ketiga ; Bahwa perubahan hidup setiap orang mesti dilakukan atas dasar komitmennya untuk berubah.  
Bahwa Onesimus tidak mau tenggelam dalam perbuatan-perbuatan kesalahan yang ia lakukan. Karena itu ia dengan sungguh-sungguh menyambut proses pemulihan yang dilakukan Paulus terhadapnya sehingga ia menjadi berguna, bagi dirinya, bagi Paulus, bagi Filemon dan bagi Tuhan.
Kenyataan ini menunjukan bagi kita, bagi orang-orang yang pernah menghadapi masalah yang berat dengan hidupnya, kita belum hancur. Kita belum binasa. Kita masih berguna untuk diri kita, untuk keluarga kita. Kita masih berguna untuk kemuliaan Tuhan. Dan karena itu jangan pernah berhenti mencoba untuk menjadi baik, Jangan pernah berhenti mencoba untuk bangkit lagi merobah hidup dan memasuki kehidupan yang berpengharapan.
Banyak orang Kristen yang ketika diperhadapkan dengan masalah mereka menjadi bimbang, putus asa, flustrasi dan tidak berdaya. Mereka menganggap mereka sudah hancur. Tidak,  firman Tuhan mengatakan anda belum hancur. Karena itu setiap orang harus membangun komitmen untuk berubah. 
Ingat tidak ada pemenang yang tidak pernah gagal, tetapi pemenang adalah orang yang tidak berhenti mencoba. (Edwin Louis Cole). Setiap orang harus terus berubah. Bangunlah tekad bahwa kita harus bisa menjadi berkat bagi orang lain.
Sebetulnya Paulus tidak perlu meminta agar Filemon menerima Onesimus dalam keluarganya. Karena sebagai seorang yang berjasa bagi Filemon, dan punya wibawa sebagai seorang Pekabaran Injil, ia dapat memerintahkan Filemon untuk menerima Onesimus, dengan otoritas yang ada padanya. Hal itu dengan tegas dikatakan dalam ayat 8 katanya;  “Sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk memerintahkan kepadamu apa yang harus kamu lakukan” . Namun itu tidak dilakukan oleh Paulus.
Kenapa ??? Karena ia mau agar segala persoalan yang dihadapi oleh Filemon dan Onesimus, hendaknya diselesaikan atas dasar kasih dan kesadaran, bukan dengan kuasa dan karena terpaksa. 
Artinya atas dasar kasih Paulus ingin agar Filemon dengan sadar menerima Onesimus kembali. Itu artinya Filemon harus bisa mengampuni segala kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Paulus tidak mau Filemon menerima Onesimus karena terpaksa, atas desakan Paulus.
Itulah sebabnya dalam ayat 10, disebutkan bahwa Paulus mengajukan permintaan kepada Filemon untuk menerima Onesimus, yang adalah anaknya yang didapatnya dalam penjara.
Bahkan bukan Cuma itu, Paulus juga siap berkorban dalam proses pemulihan relasi antara Onesimus dan Filemon itu. Tegasnya dikatakan ; “Dan kalau dia sudah merugikan engkau berhutang padamu, tanggungkanlah semuanya itu padaku, aku menjaminnya, aku akan membayarnya” (ayat 18-19). Ini luar biasa Paulus siap berkorban untuk seorang budak.

Belajar dari bagian firman Tuhan ini, maka ada 3 hal yang mau disampaikan ;
Pertama ; Bahwa dalam  upaya-upaya penyelesaian setiap persoalan hendaknya dilakukan atas dasar kasih dan bukan atas dasar kuasa.
Akhir-akhir ini, kalau kita nonton tv, baca Koran, kita menemukan suatu pemandangan yang luar biasa ngeri. Pemandangan yang berkaitan dengan penyalahgunaan kuasa yang dilakukan oleh orang yang punya kuasa.
Katakanlah para majikan menyiksa para pembantu rumah tangga, para majikan memaksa pembantunya untuk memenuhi keinginan jasmaninya, para penguasa yang mengorbankan karyawannya demi kepentingan dirinya. Bukan Cuma itu dengan kuasa ada orang tua yang memaksa kehendaknya untuk anak-anaknya. Dan karena anak tidak tahan, anak lari rumah. Ada suami yang karena kuasanya telah memaksa istrinya untuk melakukan kehendaknya dll.
Ini adalah sebagian kecil dari fenomena penyalahgunaan kuasa yang ada pada setiap orang. Dan tentunya situasi ini pasti tidak akan pernah menciptakan suatu kehidupan yang nyaman, tentram dan damai.  Karena itu firman Tuhan mengajak kita untuk menyelesaikan semua persoalan dalam kehidupan kita atas dasar kasih. Sebab dengan kasih maka orang akan melakukan segala sesuatu dengan sadar, dan bukan karena terpaksa.
Bila ada persoalan yang menimpa anak-anak kita marilah kita selesaikan dengan kasih. Bila ada persoalan yang menimpa saudara kita marilah kita selesaikan dengan kasih. Dstnya.

Kedua ; Bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk menciptakan perdamaian diantara sesamanya.
Paulus tidak menghendaki hubungan yang rusak antara Filemon dan Onesimus terus berlanjut. Paulus menghendaki agar hubungan yang rusak akibat kesalahan Onesimus itu harus dipulihkan. Katakanlah Paulus ingin memulihkan lagi relasi antara Onesimus dan Filemon yang pernah renggang itu.
Bagi Paulus kendati Onesimus sudah siap menjadi pelayan yang hebat, tetapi bila ia tidak memperbaiki hubungannya dengan Filemon, itu sesuatu yang naïf, dan tidak benar. Ia tidak mungkin menjadi teladan yang baik.
Bagi Paulus mana mungkin Filemon bisa menjadi pelayan yang handal bagi Jemaatnya, tetapi kalau ia tidak bisa berdamai dengan Onesimus, ini juga adalah sesuatu yang naïf.  Ia tidak akan mungkin menjadi teladan yang baik bagi jemaatnya, bagi umat yang dilayaninya.
Kenyataan ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa memang ada saat-saat tertentu dimana kita diperhadapkan dengan persoalan dan membuat kita saling marah. Kadang karena tingkat emosional tinggi kita menjadi sarah marah.
Tetapi kemarahan itu tidak harus membuat kita saling benci. Kemarahan itu tidak harus membuat kita saling dendam. Marthin Luter King bilang begini ; Kalau dendam dibalas dengan dendam akan memperanakan dendam”. Sebaliknya bila dendam dibalas dengan kasih, maka dia akan melahirkan pengampunan.
Karena itu kita semua sebagai orang-orang percaya dipanggil untuk mencari dan menciptakan perdamaian dalam kehidupan kita.
Cuma saja dalam keseharian hidup kita, banyak orang yang justru tidak mencari perdamaian, tetapi mencari permusuhan dan pertengkaran. Bahkan ada yang merasa sangat bersukacita ketika melihat orang berantam, orang bakalai. Mungkin saja ada yang tepuk tangan ketika orang berantam dll.


Ketiga ; Bahwa upaya untuk menghadirkan perdamaian itu membutuhkan pengorbanan.
Dalam teks kita disebutkan bahwa  Paulus siap menanggung segala kerugian yang terjadi akibat perbuatan yang dilakukan oleh Onesimus, sebagai wujud pengorbanannya untuk mendorong terjadinya perdamaian.
Kenyataan ini menegaskan kepada kita bahwa setiap orang Kristen juga harus siap berkorban dalam proses perdamaian.
Proses berkorban itu termasuk komitmen kita untuk merobah cara pandang yang salah, sebagaimana yang diajarkan Paulus kepada Filemon. Jangan lagi melihat Onesimus sebagai budakmu, sebagai hambamu, tetapi hendaknya engkau melihat dia sebagai anakku yang kukasihi, buah hatiku, saudaramu dalam Kristus.
Hal ini memberikan petunjuk bagi kita bahwa sebagai orang percaya, jangan pernah kita memandang saudara kita dengan sebelah mata, karena kekurangannya, karena kemiskinannya, karena keterpurukannya, karena keterbatasannya. Tetapi mestinya kita memandang mereka sebagai saudara seiman kita. Amin.

Oleh : Pdt. Jan. Z. Matatula, S.Th.
Sekretaris Klasis Masohi.
(Disampaikan dalam kebaktian Minggu di  Gedung Gereja Yabok – Jemaat GPM Haruru,  Klasis  Masohi  Tanggal 27 April 2008.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar