Syaloom !!!
Kita
masih berada dalam suasana Paskah Kristus. Dan Paskah menjadi momentum
pemulihan bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang saling membenci.
Karena itu dalam sorotan tema ; “Persekutuan yang saling membaharui”, saya
mengajak kita untuk merenungkan teks bacaan kita tadi Filemon 1 : 6-12.
Teks
kita ini adalah penggalan dari sepucuk surat yang dilayangkan Paulus kepada
Filemon. Isi surat
ini menggambarkan keinginan Paulus yang sangat besar agar Filemon dapat
menerima Onesimus hambanya sebagaimana ia ada sekarang.
Pertanyaan
kritis kita adalah apa sebetulnya yang terjadi antara Onesimus dan Filemon dan
mengapa Paulus harus meminta Filemon untuk menerima Onesimus kembali ??? Mari
kita cari jawabannya dalam teks bacaan kita ini.
Disebutkan
dalam teks kita, bahwa Paulus berjumpa dengan Onesimus salah seorang hamba
Filemon, yang melarikan diri dari rumah tuannya.
Filemon
sendiri adalah seorang Kristen yang kaya di Kolose dan yang menjadi percaya
kepada Kristus atas pemberitaan Injil yang dilakukan oleh Paulus dan karena itu
ia mempunyai hubungan sangat akrab dengan Paulus.
Rupanya
Onesimus telah melakukan suatu hal yang merugikan tuannya Filemon, Hal itu
dijelaskan Paulus dalam ayat 18, katanya ; “ dan kalau dia sudah merugikan
engkau atau berhutang padamu”. Jadi yang pasti ada perbuatan yang
dilakukan oleh Onesimus yang akan mengantar dia untuk menerima hukuman berat
dari tuannya.
Hal
itu sesuai dengan budaya yang berlaku dalam masyarakat Yunani-Romawi, dimana
bila seorang hamba/budak melakukan pelanggaran terhadap tuannya ia akan ditimpa
hukuman berat.
Dan
untuk menghindari hukuman itu Onesimus melarikan diri dari rumah tuannya. Dalam
pelariannya itulah Onesimus dipertemukan
dengan Paulus oleh Epafras teman sekampungnya (Kol.4:12).
Selanjutnya
disebutkan dalam teks kita bahwa ketika Paulus dipertemukan dengan Onesimus, ia
sendiri sementara terkurung dipenjara Roma, akibat dari pemberitaan Injil yang
dilakukannya.
Dalam
perjumpaan dengan Paulus itulah, Paulus merobah seluruh hidup Onesimus
sehingga ia mengalami pemulihan hidup. Ia mengalami pertobatan hidup.
Dan menurut penilaian Paulus, Onesimus telah menjadi tenaga pemberitaan Injil yang
hebat. Hal itu disampaikan
dengan ungkapan ; “dulu memang ia tidak berguna
bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku” (ayat
11). Ini suatu pengakuan yang tulus dari Paulus.
Belajar
dari bagian ini maka ada 3 hal yang patut kita renungkan.
Pertama
; bahwa
Tugas pemberitaan Injil tidak pernah mengenal batas waktu dan ruang, bahkan
usia.
Bahwa
kendati Paulus sudah menjadi tua, kendati ia disiksa dalam penjara, semua
tekanan dan penderitaan itu tidak sedikitpun melemahkan semangatnya untuk
memberitakan tentang Yesus yang bangkit itu.
Paulus
tidak berdiam diri sebagai seorang hukuman dan menyesali situasi hidup yang
dialaminya saat itu. Tetapi ia melakukan perbuatan-perbuatan yang hebat dalam
penjara.
Bukan
Cuma ia menulis surat untuk memperkuat iman dan keyakinan orang-orang Kristen
yang baru menjadi percaya kepada Kristus, yang pada waktu itu mendapat tekanan
yang luar biasa dari orang-orang Yahudi dan Yunani. Tetapi ia juga mempersiapkan orang-orang yang
bersama-sama dengan dia untuk menjadi pemberita-pemberita Injil yang handal.
Kenyataan
ini mesti mendorong kita yang hadir dalam kebaktian ini, bahkan setiap orang
percaya kepada Kristus, untuk tidak pernah berhenti memberitakan Injil Kerajaan
Allah, memberitakan tentang Yesus yang bangkit. Tegasnya, kita dipanggil untuk
memberitakan Yesus yang bangkit itu, dimanapun kita berada. Di rumah, di tempat
kerja, di tengah masyarakat dimana kita beraktivitas.
Pemberitaan
Injil yang dimaksudkan tersebut, tidak
harus membuat semuanya orang menjadi penatua, atau diaken, atau koordinator unit,
atau pimpinan wadah organisasi gerejawi. Tetapi ketika sebagai orang tua kita
bangun pagi, doa bersama dengan keluarga
itu bentuk pemberitaan Injil. Ketika
kita memperhatikan jam-jam belajar anak-anak kita, ketika kita mendorong mereka
untuk belajar dengan baik, itu pekabaran injil.
Ketika
dengan penuh cinta kita mendampingin anak-anak remaja kita, para pemuda kita
dalam proses pergaulan mereka, sehingga mereka tidak jatuh dalam berbagai
perbuatan kejahatan, itu pemberitaan injil. Ketika malam menjelang dan kita membaca
Alkitab dan berdoa, itu pemberitaan Injil yang dilakukan.
Pada
sebelah lain kita diingatkan bahwa Kita tidak saja dipanggil untuk memberitakan
Injil dalam suasana tanpa tantangan. Tetapi kita juga dipanggil untuk
memberitakan Injil di tengah-tengah tantangan hidup yang dihadapi.
Katakanlah
apakah dalam kegembiraan dan kesuksesan maupun ketika kita berada dalam
penderitaan, hendaknya semangat Pemberitaan Injil harus terus menyala-nyala.
Jang
Cuma katong sanang manyanyi lagu “api injil”, sementara katong tidak punya
semangat untuk mengobarkan api itu dalam hidup kita terutama dalam keluarga
kita.
Kedua ; Bahwa setiap orang dipanggil untuk menerima orang lain apa adanya, dalam kelemahan dan kelebihan mereka.
Bahwa
sebagaimana Paulus menerima Onesimus yang adalah seorang budak, seorang hamba
yang melarikan diri dari tuannya, seorang hukuman dan merobah dia menjadi baik,
menjadi berguna, maka kita juga punya tanggung jawab yang sama untuk menerima
dan merangkul orang-orang yang karena kelemahan, yang kerena tekanan-tekanan
hidup yang berat, tuntunan ekonomi yang berat, telah melakukan berbagai
kesalahan, bahkan mungkin telah merugikan kita.
Tidak
benar kalau kita hanya mau terima yang baek-baek saja, lalu yang tarabae katong
buang bagitu saja. Tidak begitu,….
Bukankah
tidak ada seorangpun diantara kita yang
baik dimata Tuhan ? Oleh karena kita semua adalah orang berdosa ??? Tetapi dalam kasihNya Tuhan menerima dan
merangkul kita dan menjadikan kita status yang baru, sebagai orang-orang yang
diselamatkan. Sama halnya dengan
Onesimus yang telah diterima oleh Paulus.
Karena
itu tugas kita adalah merangkul setiap orang berdosa, mendampingi mereka,
membuat mereka berubah dan dipulihkan agar mereka juga dapat menjadi berkat
bagi orang lain.
Ketiga
; Bahwa
perubahan hidup setiap orang mesti dilakukan atas dasar komitmennya untuk berubah.
Bahwa
Onesimus tidak mau tenggelam dalam perbuatan-perbuatan kesalahan yang ia
lakukan. Karena itu ia dengan sungguh-sungguh menyambut proses pemulihan yang
dilakukan Paulus terhadapnya sehingga ia menjadi berguna, bagi dirinya, bagi
Paulus, bagi Filemon dan bagi Tuhan.
Kenyataan
ini menunjukan bagi kita, bagi orang-orang yang pernah menghadapi masalah yang
berat dengan hidupnya, kita belum hancur. Kita belum binasa. Kita masih berguna
untuk diri kita, untuk keluarga kita. Kita masih berguna untuk kemuliaan Tuhan.
Dan karena itu jangan pernah berhenti mencoba untuk menjadi baik, Jangan pernah
berhenti mencoba untuk bangkit lagi merobah hidup dan memasuki kehidupan yang
berpengharapan.
Banyak
orang Kristen yang ketika diperhadapkan dengan masalah mereka menjadi bimbang,
putus asa, flustrasi dan tidak berdaya. Mereka menganggap mereka sudah hancur.
Tidak, firman Tuhan mengatakan anda
belum hancur. Karena itu setiap orang harus membangun komitmen untuk berubah.
Ingat
tidak ada pemenang yang tidak pernah gagal, tetapi pemenang adalah orang yang
tidak berhenti mencoba. (Edwin Louis Cole). Setiap orang harus terus berubah.
Bangunlah tekad bahwa kita harus bisa menjadi berkat bagi orang lain.
Sebetulnya
Paulus tidak perlu meminta agar Filemon menerima Onesimus dalam
keluarganya. Karena sebagai seorang yang berjasa bagi Filemon, dan punya wibawa
sebagai seorang Pekabaran Injil,
ia dapat memerintahkan Filemon
untuk menerima Onesimus, dengan otoritas yang ada padanya. Hal itu dengan tegas
dikatakan dalam ayat 8 katanya; “Sekalipun
di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk memerintahkan kepadamu apa
yang harus kamu lakukan” . Namun itu tidak dilakukan oleh Paulus.
Kenapa
??? Karena ia mau agar segala persoalan yang dihadapi oleh Filemon dan Onesimus,
hendaknya diselesaikan atas dasar kasih dan kesadaran, bukan
dengan kuasa dan karena terpaksa.
Artinya
atas dasar kasih Paulus ingin agar Filemon dengan sadar menerima Onesimus
kembali. Itu artinya Filemon harus bisa mengampuni segala kesalahan-kesalahan
yang pernah dilakukannya. Paulus tidak
mau Filemon menerima Onesimus karena terpaksa, atas desakan Paulus.
Itulah
sebabnya dalam ayat 10, disebutkan bahwa Paulus mengajukan permintaan kepada
Filemon untuk menerima Onesimus, yang adalah anaknya yang didapatnya dalam
penjara.
Bahkan
bukan Cuma itu, Paulus juga siap berkorban dalam proses pemulihan relasi antara
Onesimus dan Filemon itu. Tegasnya dikatakan ; “Dan kalau dia sudah merugikan
engkau berhutang padamu, tanggungkanlah semuanya itu padaku, aku menjaminnya,
aku akan membayarnya” (ayat 18-19). Ini luar biasa Paulus siap
berkorban untuk seorang budak.
Belajar
dari bagian firman Tuhan ini, maka ada 3 hal yang mau disampaikan ;
Pertama
; Bahwa
dalam upaya-upaya penyelesaian setiap persoalan
hendaknya dilakukan atas dasar kasih dan bukan atas dasar kuasa.
Akhir-akhir
ini, kalau kita nonton tv, baca Koran, kita menemukan suatu pemandangan yang
luar biasa ngeri. Pemandangan yang berkaitan dengan penyalahgunaan kuasa yang
dilakukan oleh orang yang punya kuasa.
Katakanlah
para majikan menyiksa para pembantu rumah tangga, para majikan memaksa
pembantunya untuk memenuhi keinginan jasmaninya, para penguasa yang
mengorbankan karyawannya demi kepentingan dirinya. Bukan Cuma itu dengan kuasa
ada orang tua yang memaksa kehendaknya untuk anak-anaknya. Dan karena anak
tidak tahan, anak lari rumah. Ada
suami yang karena kuasanya telah memaksa istrinya untuk melakukan kehendaknya
dll.
Ini
adalah sebagian kecil dari fenomena penyalahgunaan kuasa yang ada pada setiap orang.
Dan tentunya situasi ini pasti tidak akan pernah menciptakan suatu kehidupan
yang nyaman, tentram dan damai. Karena
itu firman Tuhan mengajak kita untuk menyelesaikan semua persoalan dalam
kehidupan kita atas dasar kasih. Sebab dengan kasih maka orang akan melakukan
segala sesuatu dengan sadar, dan bukan karena terpaksa.
Bila
ada persoalan yang menimpa anak-anak kita marilah kita selesaikan dengan kasih.
Bila ada persoalan yang menimpa saudara kita marilah kita selesaikan dengan
kasih. Dstnya.
Kedua
; Bahwa
setiap orang bertanggung jawab untuk menciptakan perdamaian diantara sesamanya.
Paulus
tidak menghendaki hubungan yang rusak antara Filemon dan Onesimus terus
berlanjut. Paulus menghendaki agar hubungan yang rusak akibat kesalahan
Onesimus itu harus dipulihkan. Katakanlah Paulus ingin memulihkan lagi relasi
antara Onesimus dan Filemon yang pernah renggang itu.
Bagi
Paulus kendati Onesimus sudah siap menjadi pelayan yang hebat, tetapi bila ia
tidak memperbaiki hubungannya dengan Filemon, itu sesuatu yang naïf, dan tidak
benar. Ia tidak mungkin menjadi teladan yang baik.
Bagi
Paulus mana mungkin Filemon bisa menjadi pelayan yang handal bagi Jemaatnya, tetapi
kalau ia tidak bisa berdamai dengan Onesimus, ini juga adalah sesuatu yang
naïf. Ia tidak akan mungkin menjadi
teladan yang baik bagi jemaatnya, bagi umat yang dilayaninya.
Kenyataan
ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa memang ada saat-saat tertentu dimana
kita diperhadapkan dengan persoalan dan membuat kita saling marah. Kadang
karena tingkat emosional tinggi kita menjadi sarah marah.
Tetapi
kemarahan itu tidak harus membuat kita saling benci. Kemarahan itu tidak harus
membuat kita saling dendam. Marthin Luter King bilang begini ; Kalau dendam
dibalas dengan dendam akan memperanakan dendam”. Sebaliknya bila dendam dibalas
dengan kasih, maka dia akan melahirkan pengampunan.
Karena
itu kita semua sebagai orang-orang percaya dipanggil untuk mencari dan
menciptakan perdamaian dalam kehidupan kita.
Cuma
saja dalam keseharian hidup kita, banyak orang yang justru tidak mencari
perdamaian, tetapi mencari permusuhan dan pertengkaran. Bahkan ada yang merasa
sangat bersukacita ketika melihat orang berantam, orang bakalai. Mungkin saja
ada yang tepuk tangan ketika orang berantam dll.
Ketiga
; Bahwa
upaya untuk menghadirkan perdamaian itu membutuhkan pengorbanan.
Dalam
teks kita disebutkan bahwa Paulus siap menanggung
segala kerugian yang terjadi akibat perbuatan yang dilakukan oleh Onesimus,
sebagai wujud pengorbanannya untuk mendorong terjadinya perdamaian.
Kenyataan
ini menegaskan kepada kita bahwa setiap orang Kristen juga harus siap berkorban
dalam proses perdamaian.
Proses
berkorban itu termasuk komitmen kita untuk merobah cara pandang yang salah,
sebagaimana yang diajarkan Paulus kepada Filemon. Jangan lagi melihat Onesimus
sebagai budakmu, sebagai hambamu, tetapi hendaknya engkau melihat dia sebagai
anakku yang kukasihi, buah hatiku, saudaramu dalam Kristus.
Hal
ini memberikan petunjuk bagi kita bahwa sebagai orang percaya, jangan pernah
kita memandang saudara kita dengan sebelah mata, karena kekurangannya, karena
kemiskinannya, karena keterpurukannya, karena keterbatasannya. Tetapi mestinya
kita memandang mereka sebagai saudara seiman kita. Amin.
Oleh : Pdt. Jan. Z. Matatula, S.Th.
Sekretaris Klasis Masohi.
(Disampaikan dalam kebaktian Minggu di Gedung Gereja Yabok – Jemaat GPM Haruru, Klasis Masohi Tanggal
27 April 2008.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar